Kebudayaan Petani Jawa
Buku kebudayaan jawa karya Koentjaraningrat menggambarkan bahwa masyarakat jawa dapat dibentuk layaknya suatu daerah pusat pemerintah dan luar pemerintah. Dimana letak pemerintahannya sendiri berada di kraton (Keratuan) yakni sekitar Yogyakarta, kraton disebut sebagai Negarigung (Pusat Negara), sedangkan luar daerah pemerintahan disebut sebagai mancanegari, daerah tersebut seperti daerah jawa timur dan
pesisir utara pulau jawa.
pesisir utara pulau jawa.
Masyarakat petani menjadi pendominasi dalam masyarakat jawa yang secara tidak langsung bagi para antropolog hal tersebut merupakan dampak tidak langsung dari adanya tanam paksa ketika zaman penjajahan Belanda. Sehingga muncul proses sosialisasi bahwa untuk hidup kita perlu orang banyak dan bergotong royong untuk menanam dan merawat padi. Oleh Karena itu orang jawa beranggapan ketika memiliki anak banyak kita tidak perlu menggunakan tenaga orang lain untuk menanam dan merawat padi, tenaga orang lain tersebut dapat digantikan dengan adanya anak dalam keluarga. Masyarakatpun tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membalas imbalan jasa orang lain dalam proses menanam dan merawat padi. Pandangan lain bagi masyarakat jawa terutama petani bahwa anak merupakan penjamin kesejahteraan hidup ketika sudah tua. Muncul juga ketika memiliki anak banyak maka orang tersebut memiliki gengsi tinggi. Jadi anak memiliki nilai tinggi bagi masyarakat jawa dahulu kala.
Tahun 60-an mejadi awal gencar-gencarnya kampanye keluarga berencana oleh pemerintah. Kampanye tersebut lama-kelamaan menimbulkan bentuk penilaian baru terhadap jumlah anak, nilai yang muncul adalah anak menjadi suatu bentuk beban kehidupan orang tua. Masyarakatpun juga sudah mulai malu ketika memiliki banyak anak. Namun, masyarakat jawa yang berada di pelosok desa masih mempunyai nilai yang tinggi terhadap anak, sehingga masyarakat di pelosok masih banyak masyarakat yang memiliki anak banyak.
Persalinan pada orang jawa dulu pada umumnya dibantu oleh dukun beranak, tidak melalui seorang bidan seperti masyarakat sekarang. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada dukun beranak sangat tinggi melebihi tingkat kepercayaan kepada bidan. Dahulu kala dukun menggunakan berbagai macam alat tradisional di mana tingkat kebersihan alat-alatnya sangat rendah, tingkat kematian ibu melahirkan saat itu juga sangat tinggi sebagai dampaknya. Melihat hal tersebut pemerintah memberikan pelatihan bagi para dukun beranak tradisional sebagai persyaratan dalam proses persalinan. Sehingga keselamatan ibu dan anak terjamin ketika proses persalinan berlangsung.
Kelahiran bagi orang jawa merupakan suatu proses ritual yang keramat. Ketika bayi lahir maka harus diselenggarakan suatu bentuk upacara syukuran sebagai bentuk rasa syukur. Belum lagi selama tali pusar bayi belum terpotong, maka sanga ayah dilarang tidur pada waktu malam hari, karena dikhawatirkan tali pusar tersebut akan dicuri oleh makhluk gaib. Para tetangga juga ikut begadang menemani sang ayah dari bayi yang baru saja lahir.
Nama bagi masyarakat jawa dulu dapat dipakai ukuran tingkat derajat seseorang. Pada umumnya masyarakat jawa memberi nama anaknya sesuai dengan derajatnya, seperti kusumo, widrajat, raden, dsb merupakan nama-nama yang berasal dari kelas menengah ke atas. Begitu juga dengan nama poniyem, parijan, kenthung, legijan merupakan nama-nama yang berasal dari kelas menengah ke bawah. Terdapat pula kepercayaan ketika orang golongan menengah ke bawah menggunakan nama yang identik dengan nama golongan atas maka orang tersebut mendapati kesan keberatan nama dalam kehidupannya.
Keluarga petani mendidik anaknya salah satunya dengan memberikan tugas menjaga adik-adiknya yang masih kecil ketika orang tuanya pergi ke sawah. Sehingga proses pendewasaan dapat dimulai sejak dini. Biasanya pada umur enam tahun keatas seorang anak diberikan tugas untuk menjaga adik-adiknya. Sedangkan ketika anak kecil tidak memiliki kakak yang harus menjaganya, maka anak tersebut akan diajak oleh orang tuanya ke sawah. Tidak terkesan keberatan bagi orang tua dulu ketika harus membawa anaknya ke sawah, hal tersebut dilakukan demi keamanan anaknya.
Anak jawa pada umumnya diberi kebebasan oleh orang tuanya ketika berada di luar rumah atau pergi bermain. Batasannya hanya terdapat pada waktu bermain anak. Ketika malam atau sudah lebih dari pukul 21.00 diharapkan sang anak sudah kembali pulang ke rumah. Namun, ketika lebih dari pukul 21.00 anak tidak pulang maka orang tua baru mulai khawatir dan cemas keberadaan anaknya. Orang tua pun mulai keluar mencari keberadaan anaknya, mulai dari bertanya kepada teman sepermainannya, hingga meminta bantuan warga lain untuk mencarinya.
Sawah menjadi penyandar hidup para petani jawa. Kehidupannya mulai dari membajak tanah, menebar benih, menyiangi, merawat, hingga memanen sawah adalah kehidupan para petani jawa. Pada umumnya masyarakat memiliki sawah yang sempit, sekitar setengah hektar sehingga masyarakat jawa miskin yang dikarenakan sempitnya tanah. Jenis tanaman yang ditanam pada umumnya adalah padi, sedangkan di beberapa daerah lain petani menanam cabe, ketela, dsb.
Petani yang memiliki sebidang tanah yang luas tidak akan mengolah sawahnya sendirian, melainkan menyewakannya pada petani lain yang tidak memiliki tanah. Tanah yang disewakan akan disewakan lebih dari satu kali masa panen karena ketika hanya disewakan selama satu kali masa panen orang yang memiliki tanah tidak mendapatkan untung yang maksimal. Hal tersebut juga berkaitan dengan kesepakatan harga antara pemilik tanah dan penyewa. Besar kecilnya harga sewa tidak hanya ditentukan oleh luas sempitnya bidang tanah, melainkan juga kesuburan, kualitas, tingkat kebutuhan akan uang, dan juga kekayaan si penyewa. Ketika kesepakatan sudah disepakati makan kedua belah pihak harus menandatangani surat perjanjian, dan disaksikan oleh pamong desa sebagai saksi.
Petani jawa tidak hanya menyandarkan hidupnya pada bertani, melainkan petani jawa juga memiliki berbagai kegiatan diluarnya. Banyak petani yang memiliki warung yang dijaga istri-istrinya, terkadang hasil dari warung tersebut melebihi hasil dari sawah yang digarap. Beberapa petani juga membuka usaha tambal ban, berjualan buah di pinggir jalan, menjadi buruh pabrik, membuka bengkel, dsb. Namun ketika mereka ditanya mengenai pekerjaannya, maka mereka menjawab petani. Mereka lebih merasa lebih senang menyebut diri mereka petani. Para pejabat, pegawai tingkat tinggi, juragan, dan lainnya yang berada pada golongan menengah ke atas ternyata juga memiliki lahan yang disewakan kepada para petani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sawah bagi masyarakat jawa memiliki nilai yang tinggi.
Kebudayaan Jawa di Kota
Anak bagi keluarga priyayi sama sekali tidak berbeda dengan nilai anak bagi keluarga petani jawa. Anak juga menjadi suatu nilai gengsi masyarakat kota . Keluarga yang memiliki anak banyak akan dianggap lebih berada dari pada keluarga yang memiliki anak sedikit, rata-rata keluarga jawa memiliki anak enam hingga tujuh anak. Meskipun pada kenyataannya pejabat muda yang memiliki anak sedikit memiliki jabatan yang lebih tinggi dari pada pejabat tua yang memiliki banyak anak.
Keluarga priyayi ketika menamai anaknya mulai sangat menghindari nama-nama yang berkesan desa atau golongan rendah. Nama-nama seperti Leginem, Bejo, Juminem sangat jarang sekali ditemui dikeluarga priyayi, kecuali para sesepuh/ para tetua di keluarga priyayi. Nama-nama yang muncul yakni kusumo, merdekawati, kartika, raden, dsb. Sedangkan di lingkungan kauman atau lingkungan yang rekat dengan suasana islami, nama yang diberikan kepada anak-anaknya adalah nama-nama yang berbau islami, seperti Ahmad, Muhammad, Abdul, Rahman, dsb.
Anak-anak para keluarga priyayi akan dimasukkan ke sekolah untuk pendidikan dan masa depan bagi anaknya. Di dalam persekolahan anak akan mendapatkan sosialisasi dari guru dan juga teman-teman sebayanya. Berbeda dengan anak petani sekolah merupakan hal yang sangat baru, sedangkan bagi anak priyayi sekolah sudah sangat dikenal jauh sebelumnya. Banyak sekali pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan hak untuk mendapatkan pendidikan, seperti anak bupati Jepara R. A. Kartini yang memperjuangkan perempuan dalam pendidikan dan Ki Hajar Dewantara dengan Tut Wuri Handayaninya.
Pertunangan/ lamaran merupakan suatu bentuk pengikat antara calon laki-laki dan perempuan sebelum upacara pernikahan dalam keluarga priyayi. Bagi keluarga calon laki-laki pada umumnya calon laki-laki dibebani persyaratan untuk memiliki pekerjaan tetap sebelum menikah. Karena pekerjaanlah yang akan menghidupi keluarganya. Sedangkan bagi pihak perempuan pernikahan merupakan peristiwa yang besar dalam keluarganya, karena masyarakat jawa pada umumnya pihak perempuanlah yang menyelenggarakan pesta pernikahan. Semua kerabat akan membantu terselenggaranya pesta pernikahan.
0 komentar:
Posting Komentar