Minggu, 25 Desember 2011

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP SEKOLAH SEBAGAI PUSAT PEMBUDAYAAN DI KELURAHAN REJOSARI SEMARANG TIMUR TAHUN 2011


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Globalisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan semakin mudahnya lalu lintas budaya antar bangsa. Budaya-budaya asing masuk dengan begitu mudahnya melalui TV, internet, koran, dan media massa yang lain seakan tanpa filter. Globalisasi yang tanpa batas seperti sekarang menyebabkan manusia Indonesia kehilangan jatidiri budayanya sebagai suatu bangsa. Penyebabnya adalah krisis kebudayaan dari manusia Indonesia.
Berbagai fenomena sosial yang muncul akhir-akhir ini menambah deretan kekhawatiran masyarakat. Kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum terjadi. Hukum begitu jeli pada kesalahan tetapi keadilan seperti dapat diperjualbelikan dan berpihak pada yang memiliki kekayaan. Pemaksaan kehendak dari suatu kelompok kepada kelompok lain dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. Gambaran tentang orang Indonesia yang ramah, sopan, dan berbudi pekerti luhur, gotong royong, mengutamakan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan kini hanya menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan. Kesan yang muncul adalah kekerasan, dan tindakan tidak manusiawi yang jauh dari nilai-nilai budaya bangsa terjadi hampir di seluruh pelosok negeri dan berlangsung dalam waktu yang lama.
Menunjukakan kebudayaan nasional adalah tugas konstitusional Pemerintah Negeri Republik Indonesia. Dalam kaitan ini, masyarakat harus sadar bahwa dalam era globalisasi kebudayaan yang meliputi dimensi kognitif (ilmu pengetahuan dan teknologi), seni dan norma-norma yang meliputi unsur-unsur warisan budaya nasional yang harus dikembangkan dalam membangun Negara dan bangsa. Berdasarkan pemikiran tersebut perkembangan kebudayaan nasional hendaknya meliputi 1) Pemeliharaan dan pengembangan warisan budaya seperti yang dikelola oleh Direktorat Jendral Kebudayaan. 2) Pengembangan dan pembudayaan nilai-nilai budaya nasional (sosial, politik, dan ekonomi) melalui proses penegakkan hokum dan proses pendidikan sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai kebudayaan.
Pendidikan melalui tugas kemasyarakatan seharusnya dapat menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa, sekarang dan masa yang akan datang. Pendidikan bukan hanya sebagai alat yang dapat menciptakan peserta didik yang pintar, menguasai bahan ajar untuk sekedar lulus ujian. Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara Indonesia yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Standar Nasional Pendidikan dalam penyusunan juga disebutkan dalam salah satu fungsinya adalah bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, jelas bahwa arah dari tujuan penyelenggaraan pendidikan sangat luhur dalam keinginannya mewujudkan manusia bermartabat yang memiliki karakter yang mulia.
Beberapa peneliti sudah meninjau tentang pendidikan karakter dan akan saya paparkan dalam tinjauan pustaka, sedangkan penelitian yang saya ajukan termasuk pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan latar belakang di atas maka saya mengajukan penelitian dengan judul: PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP SEKOLAH SEBAGAI PUSAT PEMBUDAYAAN DI KELURAHAN REJOSARI SEMARANG TIMUR TAHUN 2011.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.        Bagaimana persepsi kebudayaan bagi masyarakat Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur?
2.        Bagaimana persepsi masyarakat terhadap sekolah sebagai pusat pembudayaan di kelurahan Rejosari Semarang Timur?
C.    Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1.       Mengetahui persepsi kebudayaan bagi masyarakat Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur.
2.       Mengetahui persepsi masyarakat terhadap sekolah sebagai pusat pembudayaan di kelurahan Rejosari Semarang Timur.



BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Gambaran Umum Kelurahan Rejosari
Kelurahan Rejosari terletak di kecamatan Semarang Timur. Letaknya cukup berdekatan dengan salah satu Lembaga pendidikan besar di Semarang yaitu IKIP PGRI Semarang. Mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian dalam bidang jasa yakni menyediakan kos untuk mahasiswa IKIP GRI Semarang. Selain itu bnyak juga masyarakat Rejosari yang bekerja sebagai pedagang dan pekerja di luar kota.
Lembaga pendidikan yang berdiri di kelurahan Rejosari adalah sebagai berikut
Tabel 1: Jumlah Sekolah di Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur
NO
JENIS
STATUS
JUMLAH
SWASTA
NEGERI
1.
PAUD
1 buah
1 buah
2 buah
2
TK
1 buah
1 buah
2 buah
3.
SD/ MI
3  buah
1 buah
4 buah
4.
SMP
-
1 buah
1 buah
5.
SMK
-
1 buah
1 buah
JUMLAH
5 buah
5 buah
10 buah
Sumber: Data kelurahan Rejosari Tahun 2011
Tabel 1 menunjukan bahwa lembaga Pendidikan Anaka Usia Dini (PAUD) berjumlah 2 buah yang mana 1 didirikan oleh pihak swasta dan 1 didirikan oleh negara. Taman Kanak-kanak berjumlah 2 buah, sama halnya dengan Lembaga Pendiidikan anak Usia Dini 1 dimiliki oleh pihak swasta dan 1dimiliki oleh negera. Sekolah Dasar atau sederajat berjumlah 4 buah yang terdiri dari 3 Sekolah negeri dan 1 sekolah dikelola oleh pihak swasta. Sekolah Menengah Pertama berjumlah 1 buah yang statusnya dikelola oleh pihak swasta. Sekolah Menengah Atas di kelola oleh pihak swasta dan merupakan sekolah satu atap dengan Sekolah Menengah Pertama.
B.     Persepsi Kebudayaan bagi Masyarakat Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur
Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973 dalam karsidi mendefinisikan arti kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada. Jadi dalam konteks ini, kebudayaan tidak hanya berwujud metrial seperti sistem peralatan hidup, dan cipta manusia tetapi juga dalam wujud non material sseperti ide atau gagasan, pola kelakuan, nilai dan norma.
Masyarakat kelurahan Rejosari memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang khas dari masyarakat yang bersifat material terdapat dalam karsa manusia seperti: tarian,  wayang, pengajian, dll. Kebudayaan tersebut hendaknya tetap terus dilestarikan oleh masyarakat itu sendiri
“Disini itu adanya pengajian mbak yang masih rutin dilaksanakan, biasanya dilaksanakan pas perkumpulan oleh ibu-ibu mbak, kalu dulu masih ada kayak wayang tetapi sekarang sudah nggak ada lagi mbak, inget waktu  terakhir ada wayang itu cuma sedikit yang melihat, mungkin karena sudah nggak ada yang melihat jadi sudah nggak ada pertunjukan wayang lagi mbak. Kalau nggak masyarakt di ssini sendiri yang suka dengan wayang ya mungkin disini nggak akan ada lagi wayang mbk, kalah dengan hiburan lain  ” (Wawancara dengan Ibu Muniati 51 tahun, 18 November 2011)

Hal yang berlainan dengan fakta di atas diungkapkan oleh ibu Heni 33 tahun seorang pedagang makanan di dekat PAUD Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur
“Bagi saya sendiri kesenian-kesenian semacam itu tidak penting mbak, saya juga nggak ada keinginan untuk anak saya belajar tari-tarian, gamelan, wayang atau yang lain. Kebetulan anak saya juga nggak suka, buktinya anak saya nggak minta untuk dimasukin di sanggar atau semacamnya buat belajar tarian atau yang lain. Suami saya juga lebih suka mendidik anak saya hal-hal yang berhubungan dengan agama, daripada belajar tari-tarian, wayang, gamelan dll. ” (Wawancara 18 November 2011).

Dari wawancara tersebut menunjukan hal yang berlawanan dari ideal kebudayaan bahwa masyarakat kini menganngap kebudayaan tersebut tidak lagi penting buat kehidupan masyarakat sendiri. Fakta tersebut sangatlah kontra terhadap kebudayaan yang hendaknya dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat ssuatu bangsa. Diungkapkan juga oleh ibu Heni tentang ketidakpedulianya terhadap beberapa kebudayaan Indonesia yang di kalim oleh bangsa lain dengan alasan bahwa hal tersebut tidak berpengaruh bagi kehidupan masyarakat.
Fakta-fakta tersebut mengungkapkan fenomena yang sebenarnya terjadi di masyarakat, bahwa tidak semua mayarakat khususnya masyarakat Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur memandang kebudayaan material sebagai sesuatu yang penting berlangsung dikehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Jika hal demikian tetap dibiarkan tentunya akan memberikan dampak buruk walaupun tidak dirasakan sekarang ini tetapi pasti akan dirasakan dikemudian hari.
Kebudayaan yang berupa sistem ide atau gagasan yang berwujud dalam suatu tata kelakuan seperti sopan santun, ramah, berbudi pekerti baik juga dimengerti oleh masyarakat Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur sebagai hal yang sangat penting. Cukup dikeluhkan melihat generasi muda masa kini tidak lagi menunjukan budi pekerti yang baik apabila bberhadapan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan.
“Yang penting bagi saya adalah ahlak yang baik yang harus trtap dijaga dan dimiliki oleh seseorang terutama anak-anak. Oleh karena itu mbak, saya dan suami sepakat menaruh anak saya di pondok pesantren untuk dididik ahlak dan budi pekerti yang baik. Biar anak saya tahu sopan santun ke orang tua mbak. Lah wong saya sendiri juga sibuk mencari kerja mbak jadi saya titipkan saja ke pondok pesantren.” (Wawancara dengan Ibu heni 33 tahun, 18 November 2011).

Keterangan dari ibu Heni di atas tentunya memberikan gambaran bahwa nilai, norma, tata kelakuan, sopan-santun, budi pekerti baik tetap menjadi hal yang penting bagi masyarakat dan tetap dijaga eksistensinya. Masyarakat akan melakukan apa saja demi kondisi yang dicita-citakan.
C.    Persepsi Masyarakat  terhadap Sekolah Sebagai Pusat Pembudayaan di Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur.
Kebudayaan diperoleh melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem “pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.
Pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Lembaga pendidikan yang dimaksud oleh peneliti di sini adalah lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Sekolah di Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur tentunya memiliki cara sendiri untuk mensosialisasikan kebudayaan masyarakat kepada anak didiknya.
Sekolah-sekolah disini tidak pernah mengadakan acara-acara yang itu menunjukan bahwa hal tersebut adalah warisan budaya Indonesia mbak. saya tahu hal tersebut dari anak saya yang sekolah di sana. Buktinya anak saya nggak pernah cerita tentang acara yang diselenggarakan sekolah menampilkan beberapa kesenian yang menunjukan ciri khas budaya Indonesia mbak. Apabila ada acara yang diselenggarakan kami sebagai masyarak sekitar juga tidak pernah diundang untuk dilibatkan. Paling-paling hanya mengambil raport hasil ujian anak saya. Itu saja mbak” (Wawancara dengan seorang carik Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur, 18 November 2011).

Data yang diungkapkan oleh ibu carik tersebut menunjukan bahwa sekolah sendiri sebagai pusat pembudayaan belum dapat mengcover kelestarian kebudayaan bangsa. Dan belum sepenuhnya mensosialisasikan kebudayaan masyarakat dengan tanpa berkomunikasi aktif dengan masyarakat sekitar bahkan dengan orang tua peserta didik.
Hal senada diungkapkan oleh ibu Heni dalam wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti dengan beliau yakni
“sekolah sekarang beum bisa dipercaya sepenuhnya buat mendidik ahlak anak agar anak dapat memiliki budi pekerti baik, sopan dengan orang yang lebih tua, perkataanya dapat dijaga untuk mengungkapkan kata-kata yang baik saja. Saya sering mbak mendengar anak-anak yang bersekolah di sini berkata yang tidak senonoh seperti ... tentunya itu nggak patut diungkapkan kan mbak. Padahal itu masih anak-anak usia TK mbak, bagaimana besoknya kalau sudah besar” (Wawancara dengan ibu heni 33 tahun, 18 November 2011).

Keterangan yang diberikan oleh ibu Heni tentunya mengungkap bahwa lembaga pendididikan dalam hal ini adalah sekolah belum mampu seutuhnya mensosialisasikan kebudayaan masyarakat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan yang diinginkan perlu adanya kerja sama antara sekolah dengan masyarakat secara aktif dan terus menerus guna mencapai kondisi yang dicita-citakan. Masyarakat sendiri yakin bahwa sekolah sendiri pasti mengaplikasikan dan mengajarkan budaya-budaya yang dimiliki oleh masyarakat, bangsa, dan negara kepada siswa. Usaha-usaha yang dilaksanakan sekolah dalam rangka mensosialisasikan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat dalam kedudukanya sebagai pusat pembudayaan seperti pemihan umum ketua OSIS, kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) diberikan tanggapan positif oleh masyarakat asal kegiatan-kegiatan tersebut tidak berlebihan hingga akhirnya menimbulkan perkelahian fisik. Hal tersebut terlihat dari ungkapan sebagai berikut:
“Kalau untuk MOS seperti itu saya setuju mbak, saya tahu itu untuk mendidik anaknya toh mbak. Asal tidak keterlaluan saja sampai anaknya memar-memar dipukuli kakak tingkatnya seperti yang diberitakan di TV-TV ya saya nggak setuju mbak. Toh selama ini anak-anak saya sekolah disini juga belum pernah cerita ada yang dipukuli mbak. Guru-gurunya juga pasti akan mengawasi kan mbk kalau ada kegiatan seperti itu.” (Wawancara dengan Ibu Heni 33 tahun 18 November 2011)

Paparan dari ibu Heni tersebut menunjukan kebenaran bahwa sekolah sebagai pusat pembudayaan dengan tugasnya mensosialisasikan dan mentransmisi kebudayaan masyarakat, bangsa, dan negara. Walaupun belum proses mensosialisasikan dan mentransmisi kebudayaan yang ada dengan berbagai tantangan yang menghadang dewasa ini bukan suatu hal yang mudah dilaksanakan. Hal tersebut tentunya mengungkapkan bahwa perlu adanya pengawasan dan usaha tambahan dari orang tua dalam mensosialisasikan kebudayaan yang dimiliki, syukur jika hal tersebut dibantu oleh segenap pihak yang peduli akan kelestarian kebudayaan asli bangsa, dan negara.  Sekolah sebagai pusat pembudayaan dan agen transmisi kebudayaan tentu mempunyai cara sendiri dalam menanamkan nilai-nilai dalam budaya masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaanya perlu dukungan dan pengawasan penuh dari segala pihak masyarakat, bangsa, dan negara.
Orientasi transmisi kebudayaan tersebut tidak hanya pada tataran kognitif tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari dalam bermasyarakat.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkaan dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan berbagai hal sebagai berikut:
1. Kebudayaan bagi masyarakat Kelurahan Rejosari, Kecamatan Semarang Timur bukan sebagai hal yang krusial yang mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat setempat. Hal terpenting bagi masyarakat terkait dengan hal ini adalah kelakuan baik anak-anak generasi penerus seperti etika berbicara, sopan, santun, berbudi pekerti luhur, dan berahlak baik.
2. Masyarakat Kelurahan Rejosari Kecamatan Semarang Timur meyakini bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan yang dapat mengajarkan kebudayaan masyarakat kepada peserta didiknya. Sekolah dalam hal ini mempunyai caranya tersendiri dan untuk mensukseskan proses transmisi kebudayaan tersebut tentunya memerlukan dukungan dan kerjasama dengan berbagai pihak.
B.     Saran
Berdasarkan dari kesimpulan penelitian, maka dapat disarankan kepada beberapa pihak yaitu:
1. Bagi dinas Pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Semarang hendaknya tetap mengontrol berjalanya proses transmisi kebudayaan. Bukan hanya memperhatikan aspek kognitif atau prestasi-prestasi yang dihasilkan oleh pihak sekolah.
2. Bagi pihak sekolah hendaknya tetap memperhatikan pada fungsinya sebagai agen atau pusat pembudayaan, bukan hanya mengedepankan prestasi yang ditorehkan oleh siswa dan berlomba-lomba untuk mencapai akreditasi yang lenih baik hingga mendapatkan predikat RSBI bahkan SBI.
3. Bagi masyarakat diharapkan tetap mengawasi anak-anaknya dan tidak memasrahkn tanggung jawab seutuhnya atas pembudayaan yang diterima anak kepada pihak sekolah. Hal ini dilakukan agar proses pembudayaan anak berjalan saling mengisi antara sekolah dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Karsidi, rafik. ___. Sosiologi Pendidikan. ___. ___.
Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka.
_____________. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Rosdakarya.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Milles, B Mattew dan A. Michael Hubberman. 1992. Analisis  Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI Press.
Nasution. 2010. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara.

0 komentar:

Posting Komentar