Senin, 12 Desember 2011

Potret Sistem Perkawinan Masyarakat Tengger di Tengah Modernitas Idustri Parawisata


ABSTRAK
Masyarakat Tengger adalah masyarakat yang masih tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai, norma, aturan adat istiadat  dan tradisi lokal di tengah industri pariwisata dan unsur-unsur modernitas. Sistem perkawinan masyarakat Tengger yang unik  dan bertahan atau survive di era globalisasi ini,  menarik untuk dikaji dan diteliti bagi seorang sosiolog dan antropolog. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diperoleh dari observasi lapangan, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan secara induktif bersamaan dengan proses pengumpulan data. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa sistem perkawinan masyarakat Tengger memiliki keunikan sendiri yakni, perkawinan dilaksanakan dengan mas kawin yang dibayar hutang dengan ikrar perkawinan ”sri kawin kalih ringgit arto perak utang” dan masih banyak lagi keunikan  lain yang terdapat pada sistem perkawinan dan kekerbatan masyarakat Tengger. Oleh karena itu, untuk mengetahui dan mengenal keunikan dan kekhasan sistem perkawinan dan kekerabatan pada masyarakat Tengger, maka perlu ditelusuri dan dikaji secara mendalam serta menyeluruh pada setiap masing- masing aspek yang berkaitan dengan sistem perkawinan dan kekekerabatan itu sendiri, seperti prosesi perkawinan; mas kawin; pola menetap setelah menikah; hubungan antar keluarga; penyebutan dalam keluarga, yang mana seluruh aspek tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Kata kunci: masyarakat Tengger, sistem perkawinan, modernitas.

Tengger society are the people who has still maintained the values, norms, rules and customs as guidelines for living. In the middle of the globalizaion which has entered, Tenggerese is able to integrate elements of modern and traditional elements, so that people uphold the development and preservation of their culture. Its culture, especially on Tenggerese marriage and kinship system is unique and very interesting to be studied and researched for a sociologist and anthropologist. In this study the author used qualitative research methods. Data is obtained from field observations, interviews, and documentation. Inductive data analysis is conducted in conjunction with the data collection process. The results of this research note that the mariage system of Tenggerese has its own uniqueness that is, marriage performed by a paid dowry debt with a pledge of marriage “sri kawin kalih ringgit arto perak utang”, and also many others uniqueness, found in marriage and kinship system in Ternggerese society. Therefore, to know and recognize the uniqueness and distinction of marriage and kinship systems in Ternggerese society, it needs to be traced and studied in depth and thorough on every aspect of each relating to marriage and kinship system itself, like the process of marriages, dowry, nicnaming after marriage, family relationships, in which all of those aspects are interrelated and influenced each other.
Cey words:Ternggeres society, marriage system, modernity.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman. Keanekaragaman tersebut tercermin pada masyarakat Indonesia yang memiliki struktur yang secara horisontal ditandai oleh adanya berbagai suku bangsa, agama, ras, dan golongan. Secara vertikal ditandai dengan adanya perbedaan antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Eko Handoyo, 2007:13) Keanekaragaman yang tergambar dalam berbagai aspek kehidupan ini menyebabkan negara Indonesia lahir dan berdiri sebagai masyarakat yang majemuk dan multikultural. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dari beragamnya masyarakat suku yang tersebar hampir disetiap daerah kepulauan dengan kearifan budaya lokal sebagai ciri has setiap wilayah yang bersangkutan.
Salah satu masyarakat yang masih mempertahankan eksistensi kearifan lokal yakni masyarakat Tengger yang secara administratif berada di kawasan wisata gunung Bromo Kabupaten Probolinggo Propinsi Jawa Timur. Masyarakat Tengger  termasuk menjadi bagian salah satu masyarakat suku dari sekian banyak masyarakat suku yang ada di Indonesia dimana begitu banyak keanekaragaman budaya baik fisik maupun non fisik yang tersebar di beberapa wilayah persebarannya dengan berbagai keunikan dan kekhasanya masing-masing. Salah satu dari bentuk kebudayaan tersebut adalah pada sistem perkawinan dan kekerabatan. Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya. (Koentjaraningrat, 1997:93). Masyarakat Tengger dalam sistem perkawinannya memiliki keunikan tersendiri yang terletak pada pemberian mas kawin saat prosesi pernikahan yang berbeda dengan tradisi lain yaitu dengan dibayarkan secara hutang oleh pihak laki laki kepada pihak perempuan, juga masih banyak lagi keunikan-keunikan lain.
Budaya lokal tersebut mampu surfive di tengah modernitas industri pariwisata yang sedang berkembang pesat dikawasan Bromo. Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan obyek kajian sosiologi (I Gede Pitana dan Putu G Gayatri 2005:30)

TUJUAN
Penelitian ini memilki tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis dari penelitian ini adalah untuk memahami dan mengangkat karakteristik dari masyararakat Tengger ke permukaan masyarakat. Mengkaji semua khasanah budaya dan tradisi serta pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli yang unik dan berkarakter yang menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti. Sedangkan tujuan praktis dari pelaksanan penelitian ini adalah sebagai sarana latihan bagi mahasiswa untuk dapat belajar berpikir kritis dan analitis dalam menghadapi suatu permasalahan serta mengasah keahlian dalam bidang penelitian mengenai masyarakat  dan kebudayaannya

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara kualitatif pada masyarakat Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Propinsi Jawa Tengah. Untuk memperoleh berbagai informasi peneliti melakukan wawancara (interview) dan pengamatan langsung di lokasi penelitian. Sumber data primer diperoleh dari dukun adat , kepala desa serta masyarakat. Sedangkan sumber data sekunder di dapatkan dari literatur yang berkaitan dan data informasi di kantor balai desa.
Untuk penganalisahan data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan dan dokumen setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah. Langkah berikutnya yaitu menyimpulkan hasil penelitian, akan tetapi sebelumnya peneliti melakukan uji keabsahan data dengan menggunakan teknik analisis data berupa cross chek dan apabila terdapat kejanggalan peneliti kemudian melakukan triangulasi, yakni proses pengujian terhadap keabsahan data, yang dilakukan dengan cara menggunakan suatu yang lain untuk keperluan pengujian atau sebagai pembanding terhadap data yang ada.
Data yang telah dikumpulkan dan diseleksi kemudian disajikan dalam bentuk deskripsi etnografi. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran selengkap mungkin mengaenai kebudayaan lokal dalam sistem perkawinan di tengah modernitas pada masyarakat Tengger di Porbolinggo.

HASIL PEMBAHASAN
Masyarakat Tengger terletak di kawasan Gunung Bromo Probolinggo. Sejak diresmikanya Gunung Bromo sebagai kawasatan tentunya dapat menjadi sebuah ancaman bagi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat sekitar, yakni masyarakat Tengger. Namun, di tengah modernitas perkembangan pariwisata Gunung Bromo tersebut masyarakat Tengger mampu mempertahankan budaya lokal seperti sistem perkawinan yang dimiliki.
Pada masyarakat Tengger istilah kawin lebih popular dibanding dengan istilah pernikahan. Sistem perkawinan pada masyarakat Tengger bersifat eksogami dan heterogami, yang berarti tidak adanya larangan untuk menikah dengan anggota masyarakat pada lapisan sosial yang berbeda atau anggota masyarakat luar suku Tengger. Akan tetapi perempuan suku Tengger yang memilih menikah dengan laki-laki dari daerah lain atau dari luar masyarakat Tengger, dalam pelaksanaan prosesi pernikahanya diharuskan untuk menggunakan adat Tengger dan tetap berada di daerah Tengger. Apabila perempuan tersebut lebih memilih untuk bertempat tinggal di daerah pasanganya, maka perempuan tersebut secara otomatis dianggap oleh masyarakat keluar dari keanggotaan masyarakat Tengger. Selain  dikerenakan oleh adanya upaya dari masyarakat untuk mempertahankan wanita agar tetap berada di dalam lingkungan masyarakat Tengger, juga merupakan bentuk penghormatan terhadap perempuan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pemberian nama “Tengger” yang mendahulukan kata “teng” yang berasal dari nama seorang wanita yakni “Roro Anteng” dan kata “Ger” yang berasal dari nama seorang laki-laki yaitu “Joko Seger”. Dalam perkembanganya, kini tidak ada lagi larangan bagi masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu untuk menikah dengan penganut agama lain. Namun, kedua calon mempelai harus memilih  agama mana yang akan di peluk agar jelas ritual pernikahan mana yang akan digunakan.
Sistem perkawinan masyarakat Tengger mengenal istilah “melangkah”, yang dengan istilah andalarang, yaitu melangkahi saudara sendiri untuk melakukan perkawinan. Dianggap pamali oleh masyarakat apabila seorang kakak perempuan dilangkahi oleh adiknya laki-laki untuk melangsungkan perkawinan.
Prosesi perkawinan pada masyarakat Tengger tidak jauh berbeda dengan perkawinan masyarakat Jawa pada umumnya. Pada masyarakat Tengger prosesi perkawinan dibagi menjadi 4 tahap. Pertama adalah acara Lamaran. Hari lamaran ditentukan oleh kepala desa, kemudian dicocokan tanggal dan hari tersebut oleh dukun pandita untuk disesuaikan dengan weton jawa. Acara lamaran dilakukan mendekati hari perkawinan sehingga tidak terlalu lama untuk menunggu kerena adanya ketakutan akan terjadinya hal yang tidak diinginkan selama jangka waktu lamaran dan perkawinan tersebut. Setelah acara lamaran akan dilaksanakan acara Pawiwahan (ijab Qabul). Pawiyahan tidak dipimpin oleh penghulu tetapi dipimpin oleh dukun pandita dengan mas kawin yang dibayar hutang dengan kalimat ijab sri kawin kalih ringgit arto perak utang  jadi secara lahir batin masyarakat Tengger yang kawin mempunyai tanggung jawab yang tidak dapat dibayar lunas atau kontan. Ini menyebabkan mempelai laki-laki mempunyai utang tanggung jawab yang tidak dapat dilunasi sampai kapan pun. Meskipun demikian, perkawinan tetap tercatat di pemerintahan negara karena telah mendapat  ijin dari pemerintah daerah jawa Timur. Setelah pawiyahan berhasil dilaksanakan selanjutnya dilangsungkan prosesi temu manten, atau lebih dikenal oleh masyarakat Tengger dengan istilah walagara. Sebagai pengungkapan rasa syukur akan dilaksanakan pesta yang mengundang para kerabat. Dalam acara ini atau setelah prosesi walagara biasanya kedua pengantin diarak oleh masyarakat dengan diringi gamelan masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger menyebut upacara ini dengan istilah upacara ngarak”. Prosesi perkawinan seperti; siraman dan puasa mutih yang biasanya dilakukan oleh mempelai wanita pada masyarakat suku Jawa tidak dilakukan oleh wanita masyarakat Tengger.
Secara umum, masyarakat Tengger tidak menggunakan mas kawin dalam perkawinan (tidak dilembagakan).  Secara pribadi mas kawin tersebut ada, seperti emas atau sapi. Namun, dalam pawiwahan (ijab qabul) tidak disebutkan. Masyarakat Tengger menggunakan istilah mas kawin dengan sebutan ”sri kawin”, yaitu merupakan bentuk tanggung jawab kedua pelah pihak sampai akhir hayat. Perceraian jarang terjadi dalam masyarakat Tengger. Hal ini mungkin karena adanya istilah ”sri kawin kalih ringgit arto perak utang”. Telah dijelaskan bahwa sampai kapan pun utang tanggung jawab tidak dapat dilunasi sampai akhir hayat. Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat Tengger tidak melakukan Poligami.
Dalam acara perkawinan masyarakat Tengger Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo Propinsi Jawa Timur menggunakan pakaian adat masyarakat Tengger yang disebut dengan ”Basahan Hitam”. Untuk mempelai laki-laki menggunakan semacam ikat kepala yang disebut udeng. Model ikat kepala yang digunakan masyarakat Tengger diikat dibagian belakang, dan busana pengantin berwarna hitam. Untuk mempelai wanita masyarakat Tengger menggunakan kebaya hitam dan jarit. Terdapat filosofi tersendiri mengenai warna pakaian adat perkawinan masyarakat Tengger yang berwarna hitam. Masyarakat Tengger mengartikan warna hitam sebagai ketenangan,  kedamaian,  ”anteng.
Dalam perkawinan di masyarakat Tengger terdapat Hajat Besar dan Hajat Kecil. Disebut hajat Besar apabila acara perkawinan yang diadakan besar-besaran dengan menampilkan  berbagai pertunjukan seperti tayuban dengan diramaikan juga oleh para pedagang kaki lima. Tamu yang di undang memberi sumbangan berupa uang. Hajatan dilakukan selama 2 hari 2 malam. Jika acara perkawinan diadakan dengan sederhana atau kecil-kecilan saja.  Tamu undangan memberikan sumbangan, dalam bentuk barang, semisal; beras, gula, mie instan dan sembako lainnya, disebut hajat kecil. Sistem perkawinan yang demikian  mampu dipertahankan oleh masyarakat Tengger di tengah modernitas industri pariwisata yang semakin pesat berkembang di kawasan wisata Gunung Bromo Probolinggo.

KESIMPULAN
Dari ini dapat diketahui bahwa sistem perkawinan masyarakat Tengger memiliki kekhasan tersendiri dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Di tengah arus pariwasata dan unsur-unsur modernitas yang berkembang pesat di sana, masyarakat Tengger mampu mempertahankan dan memegang teguh warisan budayanya tersebut. Seperti halnya sistem perkawinan yang menggunakan sri kawin dibayar hutang dengan makna bahwa mempelai laki-laki mempunyai hutang tanggung jawab yang tidak dapat dibayar sampai kapanpun.

DAFTAR PUSTAKA
Handoyo Eko. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: Unnes Pers.
Kartasupoetra G. dan Hartini. 2007. Kamus sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi pokok-pokok etnografi II. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
M.Keesing, Roger dan Sammuel Gunawan. 1992. Antropologi Budaya suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Pitana,I Gede & Putu G.Gayatri.2005.Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi

0 komentar:

Posting Komentar