Secara lahir laki-laki dan perempuan adalah dua mahluk yang berbeda, alat kelamin yang dimiliki keduanya adalah berbeda, laki-laki mempunyai jakun perempuan tidak, perempuan mempunyai buah dada yang lebih besar dari pada laki-laki. Namun, seyogyangnya perbedaan perempuan dan laki-laki tersebut tidak menjadi dasar untuk keduanya dibeda-bedakan. Banyak orang yang beranggapan bahwa sudah sewajarnya perempuan berada dalam dunia domestik sedangkan dunia publik yang penuh dengan tantangan telah sepantasnya menjadi milik laki-laki. Anggapan tersebut diperkuat dengan kondisi biologis dimana perempuan mengandung, melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Sehingga menimbulkan konsep bahwa perempuan harus mengurus anaknya dan dekat dengan wilayah keluarga.
Budiman, Arif (1984) menganggap keadaan wanita yang secara relatif dianggap lebih penting dari laki-laki, melahirkan keadaan dimana kaum wanita menjadi dilindungi dari pekerjaan yang berbahaya sehingga wanita harus tinggal di rumah (dunia domestik). Hal ini dapat kita lihat pada xzaman dahulu dimana orang hidup dengan berburu dan meramu makanan. Berburu dianggap pekerjaan yang membahayakan untuk sesuatu yang di anggap penting sehingga berburu yang dilaksanakan diluar rumah menjadi milik laki-laki dan meramu makanan, mengelola hasil buruan yang dapat dikerjakan di rumah menjadi kekuasaan perempuan. Hal ini membawa kondisi sedemikian rupa yang diteruskan hingga sekarang dimana perempuan dipandang lebih baik memegang peranan domestik. Dan dunia publik dinisbahkan maskulin.
Dewasa ini banyak perempuan yang masuk pada dunia publik seperti menjadi buruh, pedagang, kader politik bahkan jajaran tinggi dalam suatu negara. Dari data yang penulis dapatkan ketika penulis ikut dalam dalam penelitian di sentra industri Troso banyak perempuan yang menjadi buruh pengrajin troso tersebut, sebagian besar buruh pada beberapa industri pengrajin troso tersebut memang laki-laki, akan tetapi dari pihak pengusaha troso sendiri tidak membatasi laki-laki atau perempuan yang menjadi buruh pengrajint troso. Keterampilanlah yang menjadi dasar penerimaan sebagai buruh kerja, dan pengusaha memberikan pilihan kepada pelamar tentang alat apa yang ingin dipegang sehingga calon pengrajin memehgang keputusan penuh untuk memegang alat yang mana. Banyak diantara perempuan buruh pembuat kain troso tersebut memegang alat yang dapat diakumulasikan memberikan penghasilan yang lebih sedikit dengan alat yang dipegang buruh laki-laki dengan alasan tidak mau “ngoyo” tetapi juga terdapat perempuan yang memegang alat tenun yang dominan dipegang laki-laki.
Suhartini (2008) dalam penelitianya tentang kehidupan sosial dan ekonomi perempuan pemecah batu di desa Kebondalem kecamatan Gringsing kabupaten Batang menemukan bahwa kehidupan perempuan tersebut masih dikategorikan miskin karena penghasilanya hanya cukup digunakan untuk mpemenuhan kebutuhan sehari-hari. Namun, pada sisi lain kita mendapatkan gambaran perempuan-perempuan yang memutuskan pilihan untuk menembus dunia publik yang selama bertahun-tahun didominasi oleh laki-laki. pernah kita mendapatkan sosok presiden perempuan, mentri perempuan, direktur perempuan yang semua itu menggambarkan pilihan perempuan masuk dalam dunia publik
Data selanjutnya saya dapatkan dari pekerjaan yang tidak bernaung di sebuah instansi, perusahaan, atau lembaga yakni pedagang asongan bus AKDP. Pedagang asongan bus AKDP di daerah Lasem kabupaten Rembang sebagian besar adalah perempuan. Apabila kita naik bus AKDP dan masuk kabupaten Rembang hingga kevamatan Lasem akan menjumpai ibu-ibu membawa “tampah” yang terbuat dari bambu berisi makanan siap saji seperti bakwan jagung, arem-arem, pisang rebus, tahu asin, kacang rebus dll yang dimasak sendiri dan kemudian dijajakan pada setiap penumpang bus AKDP. Dari hasil wawancara, hampir semua mengungkapkan alasan mereka bekerja menjadi pedagang asongan di bus karena dari pada nganggur di rumah lebih baik mencoba beradu nasib menjadi pedagang asongan di bus dan hasilnya dapat menambah penghasilan keluarga. Selain itu, Tidak terdapat syarat dan ketentuan serta bebas dari pajak. Laba yang didapatkan juga terhitung cukup memenuhi kebutuhan seandainya tanpa penghasilan dari suami.
Perlu kita ingat pada sisi lain masih banyak perempuan yang bertahan dalam dunia domestik, seperti hasil yang didapatkan dari penelitian Susilowati, Sri Pudji (2006) mengenai peranan istri nelayan dalam keluarga dimana menurut hasil penelitian tersebut kegiatan perempuan berkutat pada rumah tangga seperti mencuci, menyapu, memasak, mengelola hasil yang didapatkan dari suaminya berlayar, mengurus anak. Padahal sesungguhnya apabila kita tengok lebih jauh para istri nelayan tersebut dapat memanfaatkan kesempatanya untuk bekerja di dunia publik.
Tentunya dunia ini mempunyai dua sisi, ada perempuan yang memilih untuk menembus dunia publik ada juga perempuan yang memilih bertahan di dunia domestik, semua tergantung pada pilihan yang diambil. Dari hasil penelitian yang penulis review tidak terdapat batasan pada dunia publik untuk perempuan masuk didalamnya, seperti halnya hasil-hasil penelitian yang telah penulis paparkan diatas dimana pada industri tenun troso, perusahaan tidak membatasi perempuan untuk mengambil posisi yang telah dominan laki-laki, isteri nelayan harus di rumah menunggu suami pulang berlayar, pemecah batu karena membutuhkan tenaga yang kuat harus laki-laki, dan pedagang aongan bus AKDP yang menuntut mobilitas tinggi tidak boleh perempuan, sampai pada jajaran tinggi negara juga tidak terdapat aturan bahwa tidak boleh posisi tersebut diduduki perempuan.
Apabila kita analisis lebih jauh, perempuan-perempuan tersebut dapat dan telah memanfaatkan keahlianya di wilayah domestik untuk mendapatkan kesempatan mencapai kesetaraan dengan laki-laki di dunia publik seperti menjadi chef, menjual hasil olahan, menjadi TKW dll. Kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan itulah yang didambakan oleh penganut feminis liberal. Tetapi apabila kita menganalisis dengan sudut pandang lain pekerjaan-pekerjaan yang dominan dapat ditembus perempuan adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak jauh dari wilayah domestik, adapun hasil yang didapatkan cenderung lebih kkecil dari yang didapatkan kaum laki-laki. kesempatan yang diberikan pada perempuan hanya sebagai nina bobo agar perempuan tidak terlalu menuntut karena telah beranggapan dapat masuk dalam dunia publik sebagai mana yang dikemukakan oleh Budiman, Arif (1984) gerakan feminis liberal menuntut “perbolehkan kami masuk” yaitu memasuki daerah dimana laki-laki hidup. Tentunya kalau kita lebih cermat, laki-laki tidak membiarkan begitu saja perempuan masuk dalam wilayah publik, kebanyakan posisi yang diambil oleh perempuan dalam wilayah domestik adalah posisi-posisi yang tidak jauh dari ranah domestik.
Semua perempuan mempunyai pilihan atas hidupnya baik itu masuk wilayah bublik atau masih berada pada wilayah domestik. perlu kita ingat bahwa perempuan yang masih berada di wilayah domestik juga dikatakan telah mengambil pilihannya. Dimanapun itu, jika terdapat pemahaman atas kesetaraan perempuan tidak akan mengalami penindasan. Ironisnya, kebanyakan perempuan menikmati keadaanya dan menganggap yang dialami adalah hal yang sebagaimana mestinya sehingga tidak sadar kalau sedang mengalami penindasan atau ketidakadilan. adanya inferioritas dari perempuan juga membuat perempuan berpandangan lebih baik dan akan terasa lebih nyaman jika berada di wilayah domestik, wilayah yang telah dicitrakan sesuai dengan perempuan. Selain itu wilayah publik yang telah lama didominasi laki-laki membuat wilayah publik berwajah maskulin sehingga perempuan yang ingin berajak dari wilayah domestik ke wilayah publik harus dapat menyesuaikan dengan maskulinitas laki-laki.
Hidup adalah pilihan
0 komentar:
Posting Komentar