Berfikir tentang apa yang telah aku lakukan semasa hidupku untuk keluarga, bangsa dan negara membawa imajinasi pikiranku mengingat kehidupan dari aku dilahirkan seorang ibu sampai aku dewasa kini dapat menimba ilmu di kampus yang megah bernama Universitas Negeri Semarang.
Aku lahir di Rembang pada tanggal 25 oktober 2010. Aku diberi nama oleh adik laki-laki ibuku “Putri Indah Kurniawati”. Detik-detik ketika aku akan dilahirkan di dunia ini, beliaulah yang menyambut kedatanganku, menemani ibuku serta memberikan motifasi untuk perempuan yang paling aku cintai di dunia ini. Hal itu dikarenakan orang yang akan aku panggil Bapak sedang kembali ke Rumah untuk mengambilkan barang yang dibutuhkan ibu. Aku empat bersaudara. Kakak laki-lakiku dua, dan kini sudah membangun rumah tangga sendiri. Tentunya aku juga mempunyai keponakan. Keponakanku berjumlah tiga. Dua perempuan, satu jagoan. Keponakanku yang paling besar sedang berada di bangku Taman kanak-kanak kelas 0 kecil
Sekarang aku ingin bercerita tentang apa yang telah aku lakukan. Aku punya saudara sepupu perempuan yang usianya lebih tua satu tahun dariku. Kebetulan rumahku berada didekat Sekolah Dasar. Saat itu aku sedang bermain dengan bapaku di teras rumah. Dari teras aku melihat saudaraku itu naik becak bersama ibunya (Bu dheku) menuju ke sekolah dasar. Seketika, pada saat itu aku minta pada bapak untuk menyekolahkanku bersama saudara sepupuku tersebut. Aku ingat dulu aku mau dimasukan taman kanak-kanak yang juga tak begitu jauh dengan rumahku. Namun, aku hanya ingin bersekolah di tempat yang sama dengan saudara sepupuku. Apa boleh buat karena aku menangis tersedu kemudian bapak mendaftarkan aku di sekolah yang aku inginkan.
Hari pertama seragam langsung dibelikan, buku, tas, sepatu, peralatan, dan perlengkapan sekolah lainya juga telah siap hari itu juga. Namun, aku sendiri tidak begitu puas dengan apa yang aku dapatkan dikala itu, karena saudara sepupuku sudah mempunyai teman satu bangku. Terpaksa aku duduk di belakang dengan teman yang belum aku kenal pula. Selama pelajaran aku hanya diam saja. Jam istirahat sekolah aku gunakan untuk pulang ke rumah menonton TV yang dulu acaranya lagu anak-anak. Dulu, masa-masa kecilku disajikan lagu-lagu yang senada dengan perkembangan kami. Orang dewasa-pun senang menyanyikan lagu-lagu itu. Tidak seperti era sekarang ini yang berbalik arah. Kini anak-anak kecil lagu mainanya adalah lagu-lagu yang seharusnya dikonsumsi oleh orang dewasa. Sering aku jumpai anak-anak kecil fasih menyanyikan lagu ST 12 juga menonton acara sinetron yang seharusnya menjadi konsumsi orang dewasa.
Minggu ke-2, tepat pada hari senin. Aku terlambat tiba di sekolah karena aku tidak berani berangkat sendirian. Untuk berangkat aku menunggu kakaku yang juga berangkat untuk menuju ke sekolah menengah prtama. Karena aku terlambat untuk mengikuti upacara, aku putuskan untuk tetap di kelas saja. Setelah upacara selesai, disaat teman-teman sekelasku masuk ke kelas aku langsung bersembunyi di belakang pintu kelas, karena takut ketahuan tidak mengikuti upacara. Namun, ada teman yang mengetahui keberadaanku dan seketika itu aku langsung menangis. Saudaraku mencoba membujuku untuk diam tapi, aku sudah terlanjur malu jadi aku tetap tidak mau berinjak dari belakang pintu. Beberapa saat kemudian guruku tiba dan kemudian mengajaku untuk berada di tempat duduku. Sesampainya di rumah aku bercerita tentang kejadian pagi itu di sekolah. Sambil semuanya tertawa orang tuaku menegur kakaku. Keesokan harinya aku nggak mau masuk sekolah lagi.
Entah bagaimana ceritanya. Setelah aku keembali lagi dengan dunia bermainku, aku di ajak untuk tinggal bersama paman Munji beserta istrinya. Kedua orang tuaku mengijinkan hal itu. Agak besar aku mulai paham kenapa aku bisa tinggal bersama pamanku, bukan dengan orang tuaku. Istri dari pamanku tidak bisa hamil lagi. Kehamilan pertamanya mengalami keguguran dan kandunganya harus diangkat, karena apabila banyinya dipaksan lahir maka akan membahayakan keselamatan ibunya.
Orang tuaku berfikiran bahwa tidak ada salahnya kalau aku tinggal dan di asuh oleh pamanku. Toh kedua orang tuaku masih bisa bertemu denganku. Kebetulan juga rumah orang tuaku dengan rumah paman jaraknya tidak begitu jauh. Semakin besar aku lebih paham lagi. Mungkin orang tuaku juga berfikir kehidupanku akan lebih baik berada dengan pamanku. Selama aku tinggal dengan pamanku, aku merasa sangat bahagia. Paman dan istrinya melakukanku seperti anaknya sendiri. Saat masa ajaran baru tiba, aku akhirnya kembali duduk di bangku sekolah. tepantya di salah satu Sekolah Dasar yang ada di desaku, selain sekolah dimana aku pernah hanya bertahan satu miggu disana.
Setiap malam aku rutin belajar di rumah guruku, kecuwali malam minggu. Rumah guruku tidak jauh dengan rumah pamanku. Bila ada halangan aku belajar sendiri di rumah tanpa ditemani siapapun. Namun, suaraku saat belajar haruslah terdengar oleh pamanku, padahal pamanku juga sedang menyelesaikan pekerjaanya. Pamanku seorang pedagang besar di desa. Sesekali, saat aku belajar juga ditemani oleh istri pamanku. Ingat sekali saat itu apabila aku tidak memahami apa yang diajarkan, telinga dan pahaku siap menerima sentuhan yang sama sekali tidak aku harapkan. Benar, karena aku cengeng biasanya aku sontak lansung menangis tanpa suara. Tapi, air mata tetap tidak bisa tertahan. Istri dari pamanku sepertiya melihat keadaan yang demikian. Biasanya untuk menghiburku beliau mengajaku makan bakso setelah aku selesai belajar.
Dewasa aku paham bahwa perlakuan yang tergambar pada paragraf di atas tidak lain adalah untuk kebaikan diriku sendiri. Ingat sekali dulu pamanku dan istrinya sangat ingin aku panggil “ayah dan ibu”. Entah kenapa aku tak menyukai hal itu. Neneku juga sering mewanti-wanti untuk tidak memanggilnya “ayah maupun ibu”. Mungkin dari bujukan neneku juga aku terpengaruh untuk tidak menuruti permintaanya, padahal paman dan istrinya sangat baik terhadapku. Selama aku tinggal dengan beliau, aku juga masih bisa sering jenguk keluargaku. Sesekali juga aku masih bisa tidur di rumah kedua orang tuaku.
Kebahagiaan di tengah-tengah keluarga paman tidak berlangsuung lama. Sebelum pamanku meninggal beliau menjanjikan kepadaku untuk pergi berlibur. Biasanya setiap liburan sekolah, paman selalu berusaha menyempatkan diri bersama aku dan istrinya untuk berlibur. Tidak lupa mereka juga mengajak orang tuaku untuk ikut serta. Beberapa jam sebelum keberangkatan pamanku membatalkanya karena di ajak temanya ke suatu tempat, entah untuk keperluan apa. Kekecewaan juga menyelimutiku, dan pamanku mungkin mengetahui hal itu. Paman mengantarkan aku ke rumah orang tuaku. Beliau bertemu ibuku dan berpesan pada ibuku biar aku di rumah bersama keluargaku dan berjanji padaku bahwa akan tetap ada liburan, ini hanya ditunda. Setelah urusan paman dengan temanya selesai kita akan langsung pergi berlibur. Paman kemudian langsung pergi dengan temanya itu.
Di rumah aku bermain dengan adik perempuanku bernama Neng Nabila. Lucu sekali saat dia lahir di dunia ini. Aku benar-benar tidak mau keberadaanya dan meminta keluarga untuk membuangnya. Kini dia sudah besar, manis, tinggi duduk di bangku sekolah menengah atas. Walaupun kita juga sering bertengkar tapi aku sangat menyayangi dia. Saat aku bermain dengan adiku, aku mendengar suara orang yang memanggil-manggil nama ibu dan bapaku. Karena ibu sedang ada di belakang dan bapak sedang solat orang itu langsung masuk dan mengungkapkan apa yang ingin disampaikan untuk ibuku di halaman belakang. Terdengar olehku bahwa orang itu mengatakan kalau pamanku mengalami kecelakaan dan tanganya putus. Aku tidak sempat melihat bagaimana ekspresi ibuku yang jelas ibu langsung mencari bapak dan kemudian mengikuti orang tadi. Aku hanya tertegun di halaman belakang, juga tidak menghiraukan adiku satu-satunya. Kedua orang tuaku juga tidak sempat untuk memperhatikanku. Aku masih di sini, di halaman belakang rumahku.
Tak selang berapa lama, aku di jemput keluargaku yang lain untuk menyusul semuanya di rumah paman. Sudah banyak orang di sana. Walaupun saat itu aku masih kecil, kelas dua sekolah dasar aku sudah mempunyai pemikiran “Apakah ini yang orang dewasa katakan bahwa semua orang akan mati. Apakah ini berarti aku sudah tidak bisa menemuinya lagi”. Kakiku berjalan cepat menuju ke kamar pamanku juga yang merupakan kamar istrinya. Aku buka pintu kamarnya lalu, aku dapati istri pamanku sedang memeluk baju suwaminya. Disekelilingnya ada keluarga lain yang mencoba menghiburnya dengan rasa kehilangan pada hati mereka masing-masing. Setelah keberadaanku disadari oleh mereka, aku lanjutkan langkah kakiku dan istri paman memeluku dengan erat. Air mataku saja sudah enggan keluar saat itu. Haru semakin tebal menyelimuti kami yang ada di rumah duka. Mengetahui hal itu mbah kakung mencoba mengurangi kesedihan kami dan memberi putusan agar baju paman secepatnya dikubur di belakang rumah. Aku sendiri diajak mbah kakung keluar dan berada di tengah keluarga lain. Ada saudara sepupuku banyak disana, dan aku diminta mbah kakung untuk bermain saja dengan mereka. Mbah kakung orangnya sangat tegas dan sangat disegani di keluargaku.
Sesuai tradisi di daerahku jika ada orang yang meninggal maka keluarga yang ditinggalkan haruslah menyiapkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada orang yang datang melayat juga tak ketinggalan para anak-anak kecil biasanya tidak mau kehilangan bagian juga. Walaupun aku tidak memintanya aku juga mendapatkan satu amplop dari sejumlah amplop yang dibagikan. Isi uang yang aku terima kebetulan jumlahnya dua kali lipat dari isi amplop yang seharusnya. Dari sini kemudian aku berpikir bahwa paman sangatlah menyayangiku dan aku-pun sangat menyayanginya. Kejadian ini dapat dikatakan sebagai salah satu kejadian atau kejadian pertama yang sangat menyedihkan untuku.
100 hari sepeninggal beliau aku masih tinggal bersama istrinya di rumah yang beliau tinggal. Pertentangan di tengah-tengah keluarga tentang keberadaanku yang masih tetap tinggal bersama istrinya sampai juga akhirnya di telingaku. Aku pura-pura tuli akan kabar yang aku dengar. Keadaanku yang masih kecil memaksaku demikian. Aku pun masih tetap tinggal bersama istrinya di rumah yang beliau.
Sampai akhirnya 1 tahun sepeninggalan pamanku. Setelah acara tahlilan selesai aku bertengkar kecil dengan saudara dari istri pamanku itu. Namun, istri pamanku tak membelaku, bahkan malah memarahiku. Aku seketika langsung menangis dan lari ke rumah mbah kakung. Rumah mbah kakungku tak jauh dari rumah paman yakni, bersebelahan dengan rumah paman. Saat itu orang tuaku dan juga sebagian saudara dari ibuku sedang berkumpul di sana. Dikala itu mbah kakung sedang sakit. Sepertinya bisa disebutkan kalau mbah kakung sakit disebabkan karena diriku. Malam itu juga saudara-saudara dari ibuku menganjurkan ibu untuk membawaku pulang. Juga membujuku untuk mau pulang dan tinggal dengan kedua orang tuaku sendiri. Mereka bilang aku sudah tidak sepantasnya tinggal di rumah paman. Pamanku sudah tidak ada. Istrinya tak ayal adalah orang lain buatku.
Dengan keadaanku yang masih kecil dan dengan bujukan para keluarga, di malam itu juga kedua orang tuaku memintaku kembali untuk tinggal dan diasuh oleh mereka sendiri. Aku pun tak menolaknya. Mungkin dengan begini adalah baik bagiku dan bagi semuanya. Kebaikan yang saat itu belum aku pahami.
Aku merasa sebagai sebab dari insiden yang dialami oleh mbah kakung. Saat malam, di rumah paman sakelar lampu anjlok karena teganganya tidak kuat. Untuk menyalakan listrik kembali haruslah mematikan saklelar lampu terlebih dahulu. Mbah kakung orangnya sangat perhatian dan sayang terhadap anak-anaknya bahkan rasa sayangya untuk menantu-menantunya juga tak kalah kadarnya dengan anak-anak beliau. Pada saat ini sedang gencar-gencarnya Ninja di desa kami. Saat mbah kakung mengecek keadaan kami di rumah. Saat itu pula sakelar anjlok dan aku kurang cepat untuk menyalakanya kembali. Terdengar suara orang terjatuh dan kesakitan.
Listrik telah bisa digunakan dan lampu sudah menyala. Terlihat mbah kakung di dekat pintu masuk rumah dalam posisi tersungkur karena tersandung krat yang berisi botol-botol kecap. MasyakAllah, kami serentak kaget melihatnya dan takut bila saja nanti terjadi apa-apa dengan beliau. Kemudian segera kami membawa mbah kakung masuk kerumah di bantu oleh orang yang sudah ikut paman dan mengurusiku. Dalam hati aku ketakutan sekali kerena gara-gara aku ingin menyalakan TV listrik di rumah anjlok. Namun, aku tak berani berucap apapun. Tak satu kata pun yang terucap dari mulutku mengenai hal ini.
Lama sekali mbah kakung tidak kunjung sembuh. Mbah menpunyai pendirian yang sangat kuat dan tegas orangnya. Mbah tidak mau dibawa ke rumah sakit. Beliau memandang segala yang sudah terjadi merupakan bagian dari takdir. Bila beliau sudah ditakdirkan untuk meninggal karena itu, maka beliau akan meninggal dengan caraseperti itu dan tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Begitu juga sebaliknya. Jika beliau tidak akan meninggal karena hal itu maka beliau akan tetap masih bisa gesang. Mbah kakung hanya mau di pijit, diurut dan semacamnya.
Aku sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sewaktu pulang sekolah aku mendapatakan banyak sekali kerumunan orang di dekat rumahku. Semakin aku mendekati rumah mbah kakung, semakin rapat pula kerumunan yang ada. Aku pun curiga jangan-jangan ada yang meninggal dan dalam hati semakin keras aku bertanya “apa yang meninggal mbah?” tak ada yang mendengar pertanyaanku itu. Tak ada juga yang menjawab. Hingga pada akhirnya, ada orang yang memberitahuku bahwa mbah kakung sudah tidak ada. Aku kemudian berlari untuk secepatnya berada di rumah.
Di dapan rumah sudah banyak orang-orang yang menyelawat, jadi aku putuskan untuk lewat pintu belakang. Di dapur aku langsung dapati ibuku yang matanya masih sembab. Ibu kemudian memberiku baju ganti dan menyuruhku untuk bermain saja di luar. Berjalan sebentar aku bertemu dengan mbah putri. Mbah putri biasa aku panggil beliau “mbah ti”. Mbah ti menyuruhku untuk segera makan dan meminta seseorang untuk mengambilkan makanan buwatku. Saat makan, aku yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, berfikir dan mengingat memori ke belakang. Memori dimana pamanku setahun lalu pergi dipanggil oleh yang maha kuasa. Mengingat memori saat bergurau dengan mbah kakung aku berfikir “berarti mulai saat ini aku juga tidak bisa bertemu lagi dengan mbah kakung”. Aku mulai mengerti bahwa semua orang yang hidup di dunia ini akan mengalami hal seperti ini. Orang-orang di dunia ini akan meninggalkan sanak saudaranya di dunia. Mereka akan kembali kepada yang menciptakanya. Aku mulai ketakuatan “bagaimana kalau hal ini terjadi pada orang tuaku, adiku, kakaku, dan juga bagaimana kalau terjadi pada diriku”. Dengan usiaku saat itu kemudian aku tidak menerusakan apa yang aku makan dan segera mencari ibuku, memeluk dia. Kala itu setelah ibu memelukku beliau tetap menyuruhku untuk bermain di luar dengan saudaraku yang lain. Orang dewasa mungkin tak mengira bahwa anak sekecil itu juga telah bisa merasakan kehilangan serta takut akan kehilangan. Saat ini pun aku masih merasakan ketakutan akan kehilangan.
Beberapa bulan kemudian rumah itu menjadi topik kericuhan di keluargaku. Bapaku sendiri menginginkan rumah tersebut menjadi cabang dari salah satu yayasan madrasah yang saat itu dipimpinya. Kakak pertama ibuku meminta rumah itu agar dijual dan uangya diwakofkan di yayasan dimana pak dhe menjadi bagian di dalamnya. Istri pamanku menikah dengan orang lain. Beliau juga keluar dan pindah dari sana. Rumah itu akhirnya dijual dan uangnya di wakofkan ke masjid yang saat itu sedang dalam taraf pembangunan. Pada masa-masa kericuhan yang terjadi di dalam keluarga, dimana membahas rumah yang telah ditinggalkan paman, aku menjadi ingat dan rindu sekali pada paman. Rumah yang belum lama ditempati oleh beliau, rumah yang telah menjadi bagian dari pertumbuhanku kini telah menjadi milik orang lain.
Kejadian terburuk lain yang pernah aku alami adalah terpecahnya keluargu. Perceraian antara ibu dan bapaku merupakan hal yang sangat tidak aku inginkan. Ibu dan bapak sering bertengkar. Bahkan, tak sunkan juga merka bertengkar di depan anak-anaknya. Sesungguhnya pertengkaran kedua orang tua disebabkan karena apa, hanya mereka berdua yang paham. Telisik demi telisik sepertinya dikarenakan bapak tidak memberi nafkah ibu. Ibu menjadi soko guru di keluarga kami. Gaji mengajar disuatu yayasan madrasah tidak pernah ibu merasakanya. Hasil dari pertanian yang bapak tekuni juga tak pernah ibu menciumnya.
Sampai pada pertengkaran dimalam yang sungguh mengerikan buwatku. Malam itu aku tidur lebih awal. Adiku sudah tidur lebih dulu di kamar ibu. Kedua orang tuaku sepertinya juga sudah pisah ranjang. Tidak lama setelah aku menutup mata beranjak ingin menikmati mimpi yang indah. Aku malah mendapatkan kenyataan yang sangat buruk. Aku mendengar suara ibu yang berteriak seperti sedang membela diri di tengah-tengah pertikaian. Dalam benaku, aku menduka bahwa ibu dan bapak sedang bertengkar. Dugaanku benar, lantas tak pikir panjang sontak aku kemudian langsung membuka pintu kamar. Berusaha secepat mungkin mendapati tempat dimana mereka bertengkar. Aku dekap ibuku dan beliau menunjukan kepadaku darah yang ada di telapak tanganya. Remang-remang aku melihatnya, karena ruangan itu gelap. Lampu disana padam. Tapi jelas aku lihat bahwa itu darah. Aku tak menyangka bapaku bisa melakukan hal yang demikian adanya.
Tidak memperdulikan sosok bapak yang dari tadi berdiri di depan ibu, dan otomatis juga mengetahui aku melihat semuanya. Anaknya melihat kekerasan yang dilakukan oleh bapak kepada ibunya. Di tengah kegelapan aku raba engsel pintu. Aku cari letak pengunci dan secepat mungkin aku membukanya. Pintu berhasil aku buka dan aku berteriak meminta tolong. Aku panggil-panggil nama tetengga yang paling dekat dengan rumahku. Aku paksa ibu untuk keluar karena aku takut akan terjadi hal yang lebih buruk dari ini. Ibu masih tetap saja mempertahankan keberadaanya di rumah itu. Aku tak perduli apa yang dipikirkan oleh ibuku. Dalam benaku saat ini hanyalah mengeluarkan ibuku dari rumah. Menjauhkan ibu dari amarah bapak. Melihat keadaan ibuku yang berlumuran darah tetanggaku lansung memaksa ibu untuk ke UGD yang terletak di sebelah kanan rumahku. MasyakAllah . . . Astaghfirullah . . . . aku sungguh benar-benar tak kuasa melihat kenyataan yang aku harap ini adalah bagian dari mimpi buruku. Berharap aku bisa cepat bangun dan kudapati bahwa benar adanya ini adalah sebuah mimpi. Aku mencoba mengakhiri tidur ini. Aku berusaha mencari kenyataan yang menjawab ini adalah sebuah mimpi. Namun, semua musnah, aku sudah benar-benar bangun. Aku tidak sedang berada dalam keadaan tidur. Aku benar-benar mendapati ini sebagai sebuah kenyataan.
Akhirnya ibuku dirawat di AGD. darah yang keluar adalah darah yang diakibatkan karena tamparan yang sangat kuat. Sampai-sampai gigi ibuku yang bagian depan putus dan bibir ibuku juga sobek. Kedua kakaku sudah tiba semua disini. Aku hanya bisa menyembunyikan tangis di depan mereka. Setelah sadar, ibu mencari adeku, karena hanya dia yang belum ada disini. Ibuku langsung meminta kakak ke-2ku untuk membawa adek bersama ibu. Aku membututi kakaku dari belakang, tapi aku tak berani untuk masuk ke dalam rumah. Aku hanya menunggu di teras rumah. Pintu sudah dikunci oleh bapak dari dalam. Kakaku memanggil bapak berharap untuk dibukakan pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dan bapak kembali lagi ke kamarnya tanpa bersuara apapun. Masih dalam keadaan tidur adeku yang saat itu duduk di sekolah dasar di gendong kakak untuk menemui ibu. Di kamar tempat ibu dirawat dia bangun. Entah apa yang dipikirkan adeku saat itu. Apa yang dimengerti dia pada kejadian malam ini. Saudara-saudara ibuku juga tiba di UGD pada malam itu juga.
Tiga hari lamanya ibu di rawat di UGD. setiap saat ibu memaksa untuk kembali ke rumah. Saudara dan anak-anaknya tak mengijinkan hal yang demikian. Kita semua khawatir kejadian seperti ini akan berulang kembali. Secara pribadi aku sendiri juga mempunyai kekhawatiran yang sama. Melihat kedua orang tuaku sudah sering bertengkar. Setelah dengan beragam bujukan, ibu mau dibawa ke rumah mbah uti dulu. di rumah mbah uti semuanya berkumpul untuk berunding mengenai hal ini. Semua menganjurkan untuk ibu keluar dari rumah itu dulu. Kalau keadaan sudah membaik baru diperbolehkan untuk kembali ke rumah itu jika masih menginginkan untuk kembali. Namun, ibuku sudah tidak menghendaki untuk rujuk kembali dengan bapak. Alasan ibu karena mereka sudah talak tiga. Aku sendiri waktu itu belum jelas apa itu yang ibu sebut talak tiga. Kenapa talak tiga menyebabkan ibu nggak bisa rujuk kembali dengan bapak.
Ibu menjelaskan talak satu terjadi saat aku masih bayi. Talak ke-2 terjadi pada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Yang ke-3 adalah sekarang ini. aku berfikir kenapa setelah keberadaanku kemudian membuat kenyataan yang seperti ini. apa aku tidak merupakan anugerah bagi mereka? Apakah aku tidak memberikan berkah untuk keluargaku sendiri? Apakah hal yang demikian ini yang menyebabkanku tinggal bersama pamanku? Aku ingat pada saat talak ke-2 yang dimaksud ibu. Pada saat itu, ibu tinggal di rumah paman munji. Sebelum rumah itu dijual. Kami tinggal berempat dengan ibu, adiku, kakaku yang ke-2 dan aku. Saat itu kakaku tersebut belum membentuk rumah tangga sendiri. Kakak pertamaku tidak ikut tinggal bersama kami kerena dia berada di salah satu pondok pesantren di Sarang. Kakak pertamaku juga lebih sering dengan bapak dan tidak begitu dekat dengan ibu. Pada saat itu, ingat sekali aku sangat merindukan bapak dan ingi kembali ke rumah yang belum lama aku tempati itu. Dalam usiaku pada saat itu juga belum berani untuk meminta kepada ibu agar kita berkumpul kembali. Setelah rundingan di rumah mbah uti siang itu, di putuskan bahwa untuk sementara ibu akan tinggal di rumah mbah uti juga bisa tinggal di rumah kakak ke-2ku. Kebetulan rumah kakak ke-2ku dan rumah mbah uti berdampingan sehingga akses untuk kita bertemu akan mudah.
Ibu ingin melaporkan kejadian ini kepada lembaga hukum dan membawa kasus ini untuk diperadilkan di pengadilan. Sempat terjadi diskusi panjang mengenai hal ini di keluarga kami. Beberapa pihak ada yang tidak menyetujui apabila ibu menempuh jalur hukum. Dengan pertimbangan nasib anak-anaknya. Keluarga takut nantinya akan terjadi pertikaian antara kakak pertamaku dengan kakak ke-2 ku. Notabenya kakak pertamaku lebih membela bapak dari pada ibu atas kejadian ini. Saat pertengkaran dulu adalah detik-detik saat aku Ujian Nasional. Semua mengkhawatirkan nilai ujianku termasuk guruku. Selama ujian aku diajak tinggal dirumah guruku. Rumahnya juga tak jauh dari rumah mbah uti.
Lulus dari sekolah menengah pertama membuatku bingung akan melanjutkan kemana. Dalam hemat pikirku, biarkan bapak yang menyekolahkanku. Terserah bapak aku akan ditempatkan dimana. Hal ini aku lakukan karena aku berharap ibu mendapatkan rumah yang paling tidak nilainya tak jauh dari rumah yang dulu kita tempati bersama, yang kini ditempati bapak dengan kakak pertamaku. Janji untuk menyekolahkanku pun hanya tinggal sekedar janji. Ibu mulai melayangkan gugatanya kepada pengadilan. Sekolahku juga tak lagi terperhatikan. Aku masuk di yayasan Matoliul Falah yang berada di Kajen. Hanya tiga bulan aku bertahan disana. Keuangan yang tidak lancar yang diberikan bapak, pikran yang selalu menuju pada perkembangan kondisi keluarga mengarahkanku aku untuk keluar dari keanggotaan yayasan tersebut. Harus menunggu tahun depan untuk masuk pada lembaga pendidikan negeri. Selama aku di rumah, aku menjadi perhatian guru sekolah menengah pertamaku. Aku dipanggil untuk menghadap kepala sekolah SMP dimana sebelumnya aku bersekolah di sana dan di tanyai mengenai keadaan sekolahku. Olehnya aku diberi dorongan untuk kembali mengenyam pendidikan.
Aku masuk di salah satu lembaga pendidikan negeri di kabupaten Rembang. Tepatnya di SMA N l Lasem. Di awal masa pelajaran aku menerima panggilan pengadilan sebagi saksi dalam kasus di antara kedua orang tuaku. Pihak terdakwa adalah bapaku dan pihak korban adalah ibuku. Benar, ibuku akhirnya memasukkan perkara dulu ke lembaga pengadilan. Sebelumnya, kejaksaan juga telah memanggilku untuk dimintai keterangan menyangkut pertengkaran yang dialami oleh keluargaku. Sebagai warga negara yang baik, aku harus menjawab panggilan kejaksaan. Sungguh berat sekali saat berada di kursi kejaksaan, dimintai keterangan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh bapaku sendiri terhadap ibuku. Aku jawab semua pertanyaan sebatas apa yang aku ketahui. Walaupun begitu masih terasa sangat berat menanggungnya. Panggilan yang dilayangkan untuk bapak tidak diindahkan sama sekali. Maka dari itu bapaku di panggil secara paksa oleh kejaksaan. Begitu kabar yang aku dengar. Bapak ditahan, dan itu yang membuatku sedih. Kesedihan yang tidak bisa aku ungkapkan pada siapapun. Mungkin apa yang aku rasakan ini juga dirasakan oleh saudaraku yang lain.
Ketika hari dimana untuk pertama kalinya aku akan masuk ke ruang pengadilan. Untuk pertama kalinya itu juga aku sudah harus bersaksi atas perbuatan yang telah dilakukan oleh bapaku kepada ibuku. Sangat berat yang aku rasakan saat itu. Saat pelajaran aku dipanggil oleh salah satu guru yang baik terhadapku, beliau memanggilku dan merangkul pundaku. Secara isyarat memberikan motivasi kepadaku. Sampai di pengadilan, aku mencari-cari sosok bapaku tapi tak terlihat. Persidangan kasus kedua orang tuaku akan dimulai. Aku temukan bentuk tubuh yang aku kenal. Bentuk tubuh yang dulunya sering memeluku. Bentuk tubuh yang dulunya sering aku gunakan sebagai tempat bermanja. Kini orang yang mempunyai tubuh itu sangat jauh rasanya dariku. Jarak kita sangat dekat, bahkan dengan mata telanjang aku sudah bisa melihatnya.
Namaku telah dipanggil, pelan-pelan aku berjalan ke depan. Aku diminta oleh pak hakim untuk bersumpah bahwa apa yang akan aku katakan adalah yang sebenar-benarnya. Kata yang diminta untuk aku ucapkan sebagai sumpahku sangatlah simpel. Aku juga dituntun lafal demi lafal oleh bapak hakim. Namun, entah kenapa di dalam diriku lafal itu sangat sulit untuk aku suarakan. Harus diulang tiga kali, baru akhirnya aku mendapatkan yang diinginkan oleh pengadilan.
Oia, belum aku ceritakan mengapa akhirnya keluargaku bersepakat untuk memasukkan kasus ini ke pengadilan. Sebelumnya, ada perjanjian yang telah ditanda tangani bapak. Perjanjian itu isinya bahwa bapak diperbolehkan melangsungkan pernikahan barunya apabila bapak bersedia mencerai ibu secara hukum, dan bapak bersedia keluar dari rumah itu. Namun, sampai beberapa bulan bapak belum juga menggugat cerai ibu. Beberapa hari setelah pernikahan berlangsung bapak kembali lagi ke rumah yang telah dibangun bersama-sama dengan ibu.
Dari sini hubunganku dengan bapak jauh lebih buruk dari sebelumnya. Siangnya sebelum pernikahan itu dilangsungkan aku mendengar kabar dari ibu kalau kemungkinan bapak akan menikah lagi malam nanti. Untuk memastikan kabar yang aku dengar dari ibu, saat ibu tidur siang, aku putuskan untuk pergi ke rumah yang ditempati bapak. Sesampainya disana aku mendapati rumah itu agak sedikit ramai di dapur. Berbagai bumbu berada di meja. Jumlah porsi yang dimasak juga sangat berlebihan untuk makan harian. Benar, ini pertanda kalu akan ada tamu, syukuran atau semacamnya. Aku pura-pura tidak tahu apa-apa, aku bertanya kepada salah seorang yang aku kenal. “kenapa masak begini banyak? Memang akan ada acara apa?” beliau menjawab bahwa akan ada rapat yayasan di rumah. Jawaban yang masuk akal tapi, sayangnya aku bukanlah gadis yang bodoh. Aku bukanlah gadis yang tanpa sikap kritis. Rapat yayasan selalu diadakan setelah lebaran idul fitri, saat ajaran baru hendak dimulai. Saat ini bukanlah bulan syawal, sehingga itu tidak mungkin benar. Aku ditawari makan disana, tapi aku tolak dengan berkata bahwa makanan itu tidak enak jadi aku nggak mau memakanya. Aku pulang dan menunggu ibuku bangun dari tidur siangnya. Aku ceritakan semua yang aku lihat di rumah bapak. Ibu memintaku untuk segera mandi dan tetaplah di rumah bapak sekaligus mengamati apa yang sedang dan kemungkinan akan terjadi. Saat orang-orang di rumah itu lenggang aku menemui kakak ke-2ku di rumahnya. Entah benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Saat aku menceritakan kondisi di rumah bapak dan menceritakan apa yang dikatakan ibu kepadaku bahwa bapak akan menikah lagi kakak ke-2 ku ini tidak yakin terhadap hal yang aku bicarakan ini akan terjadi. Aku kemudian bergegas kembali ke rumah bapak dengan posisi pura-pura tidak mengerti arti dari semua yang terjadi di rumah saat itu. aku mendengarkan musik di kamar yang dulunya adalah kamarku. Aku mengambil kaset dari peninggalan kakak ke-2ku karena koleksi kasetnya beraliran rock. Itu berarti kalau di perdengarkan dengan keras akan mengganggu siapapun tamu yang mendengarnya. Kaset sudah aku persiapkan, sekarang tinggal panci dan stik dram peninggalan kakak ke-2ku. Setelah siap aku mengabari ibu kalau menurut informasi yang aku dapat acara penikahan akan dilaksanakan malam itu juga. Aku di minta ibu untuk tetap stay di rumah bapak.
Arak-arakan pengantin telah datang. Namun, ibuku belum juga datang. Kekhawatiran menyelingkupiku. Aku menggunakan sepeda, dan aku kayuh cepat bahkan sangat cepat untuk segera menuju ke rumah kakak ke-2ku. Aku tahu ibu berada di sana. Kecepatan yang aku gunakan untuk mengayuh sepeda menarik perhatian orang yang aku lewati. Jelas mereka juga memberikan sanksi padaku, sanksi yang berupa teguran itu tak membuat perhatianku beralih dari pikiran untuk keluargaku. Akhirnya aku bertemu dengan ibu. Aku sampaikan kepada ibu bahwa rombongan dari wanitanya sudah datang. Ibu langsung marah padaku kenapa aku tidak stay di rumah bapak tapi malah datang kesana. Kakak ke-2ku juga berkata senada. Aku masuk rumah lewat pintu samping. Aku melangkah menuju dapur. Aku benci melihat penghuni dapur ikut andil dalam prosesi ini. aku benci jika hari ini ada kebahagiaan di atas kesedihan yang mendalam bagi ibuku, aku dan mungkin sodaraku yang lain.
Mataku menuju gawan yang berupa hasil bumi yakni beras. Beras itu aku tumpahkan ke lantai. Begitu juga jajanan yang dibawa oleh keluarga wanita itu. awalnya ini ingin aku hentikan tapi tubuhku malah dipegangi erat-erat oleh salah seorang ustad di yayasan tempat bapak bernaung. Entah setan apa yang merasuki tubuhku sehingga aku melakukan ini semua. Aku juga tak menyangka setelahnya. Saat aku dipegangi erat, aku dapat melepaskanya. Ketika aku membrontak tanganku menjatuhkan piring yang sudah ditata apik di meja beserta menu yang akan dihidangkan. Piring yang jatuh membuka pikiranku untuk menjatuhkanya semua. Namun, hal itu aku urungkan karena aku masih punya rasa sayang yang mungkin terpendam saat itu untuk bapak. Setelah berhasil melepaskan diri aku kemudian menuju kamar yang dulu miliiku untuk memainkan musik yang aku sudah persiapkan. Musik rock aku putar keras-keras, berusaha ingin menghancurkan acara malam ini. Panci aku pukuli keras-keras. Berharap bapak gerang melihatku seperti ini. Aksiku memukul panci aku hentikan karena aku merasa ada yang mencoba mengunciku dari luar. Aku dengan orang itu beradu tenaga dan akhirnya aku berhasil membuka pintu.
Saat aku mencoba masuk pada kerumunan tamu perempuan dan tetap berusaha untuk membuat buruk malam ini, mataku bertemu dengan bapak. Untuk memandanganya cukup dengan mimik kecewa yang sangat mendalam sudah cukup menjelaskan apa yang aku lakukan di malam itu. Kakak ke-2 ku kemudian menghampiriku dan mengajaku bergabung dengan kerumunan para keluarga dan ulama yang ikut andil dalam bagian ini. saat perjanjian yang sudah di tulis bapak akan ditanda tangani, aku mengajukan permintaan untuk ada materainya sebagai dasar tanda tangan tersebut agar perjanjian itu kuat hukum. Orang-orang yang menyebut dirinya sebagai orang dewasa kebanyakan tidak menyetujui permintaanku ini. Alasan yang mereka kemukakan adalah karena yang membuat perjanjian itu adalah saudara sendiri. Terutama untuku adalah mereka berdua adalah orang tuaku. Yang menjadi saksi juga tak lain adalah saudara-saudara ibuku sendiri. Sekejap aku berfikir atas kekuatan surat perjanjian itu. Sesaat, aku putuskan bahwa materai itu harus ada. Aku ambil surat perjanjian yang telah di tulis tersebut. Aku lari untuk membeli materai dengan membawa surat perjanjian itu. aku lari sekencang mungkin karena takut kalau nanti diputuskan untuk dituliskan surat perjanjian lagi. Dengan mata sembab aku tiba di toko ATK dan meminta materai juga lem.
Sampai di tengah-tengah keluarga, aku memberikan surat perjanjian yang harus ditanda tangani bapak kepada saudaranya ibu yang bertindak sebagai mediator. Aku ditanya mengapa aku melakukan ini. aku jawab karena aku tidak percaya pada bapak. Aku percaya pada hukum. Bapak kemudian memanggilku, sepertinya itu merupakan panggilan terakhir untuku dari bapak kandungku. Benar, sampai saat ini bapak tak pernah memanggil namaku lagi. Bapak memanggilku hanya untuk memperlihatkan kepadaku simbol putusnya hubungan seorang anak dengan bapak yang di lambangkan dengan jarinya. Melihat apa yang bapak tunjukan ke aku, kemudian aku berkata “mantan istri memng ada Pak, tapi nggak akan ada yang namanya mantan anak”. “anaku pintar bicara kan” itu yang dikatakan bapak pada semua orang. Dasar aku nggak mau kalah aku juga melakukan pembelaan diri dengan bilang “bapaknya pitar bicara kok anaknya nggak”. Bapak melangsungkan pernikahanya, aku menunggunya di luar bersama keluargaku yang lain. Tak lama kemudian, bapak keluar bersama rombongan, karena isi perjanjian itu mengharuskan bahwa bapak tidak boleh tetap tinggal di rumah itu. begitu juga dengan ibu.
Saat bapak menuju ke mobil, bapak bertemu adik dan adiku digendong olehnya. Aku yang hanya diam duduk di dekat kakak ke-2ku. Aku, di minta kakak ke-2ku untuk menghampiri bapak dan meminta maaf kepada beliau. Aku sodorkan tanganku ke arah bapak. Lama tanganku diam, masih berharap untuk digapai. Keinginanku untuk bisa mencium tangan bapak sepertinya hanya menjadi sebuah harapan saja. Melihat hal yang demikian, kakak ke-2ku sigap dan langsung mengambil tubuhku mundur kembali kumpul dengan keluargaku.
Mengingat bagaimana perasaanku saat itu merangsang air mataku untuk keluar. Aku mungkin anak yang paling dibenci bapak saat ini. aku iri pada adiku yang di peluk olehnya. Apa aku nggak akan lagi dapat merasakan pelukan bapaku sendiri. Kenapa untuk bersalaman saja nggak bisa aku rasakan. Sampai sekarang aku masih berharap untuk dapat merasakan pelukanya lagi. Aku tak pernah mengungkapkan perasaanku sebenarnya kepada siapapun. Aku benar-benar merindukan sosok bapak dalam kehidupanku. Bapak yang berjarak dekat denganku. Namun, sangat jauh buat aku rasakan keberadaanya. Aku rasakan perasaan rindu ini sendiri. Bahkan sampai saat ini aku pendam perasaan ini. aku nikmati bagaimana kerinduan ini sendiri, hanya sendiri.
Melihat adiku begitu dekat dengan bapak, apa yang adiku minta selalu diturutin. Bahkan, terkesan kalau bapak mencoba menunjukkan kepadaku bagaimana keinginan adiku diturutin semua olehnya. Ibu selalu mengingatkanku tentang hal ini. ibu memberikan kesabaran kepadaku agar aku tidak iri dengan apa yang diberikan bapak kepada adiku. Aku kini juga sudah bisa menerima semuanya. Ini adalah pelajaran iklas buatku. Mengingat semua ini rasanya tak habis pikr. Aku baru beberapa tahun tinggal bersama kedua orang tuaku setelah aku di asuh oleh paman. Tapi keluargaku malah pecah seperti iini. Apa yang telah aku lakukan untuk keluargaku. Apa yang akan aku lakukan untuk keluargaku. Selama aku tinggal kembali dengan kedua orang tuaku. Ibulah yang membiayai aku sekolah. Ibuku adalah segalanya buatku. Dia kartini dalam kehidupanku. Aku juga tidak bisa memunafikan hatiku kalau ada ras sayang di dalam hatiku untuk bapak.
Karena dulu aku tinggal dengan paman, aku masuk di sekolah dasar yang agak jauh dari rumahku. Setiap pagi bapak biasanya mengantarkanku barangkat sekolah dan bukanlah naik motor melainkan dengan sepeda. Waktu aku sakit, bapak juga bersedia menggendongku untuk pergi ke klinik dokter. Dulu aku sungguh dimanja oleh bapaku. waktu yang dimiliki ibu lebih banyak dihabiskan untuk pekerjaanya. Malamnya, ibu sudah kelelahan bekerja seharian. Waktuku lebih banyak aku habiskan untuk bergurau bersama bapak.
Selama duduk di skolah menengah atas, aku laju dari rumah. Berangkat pagi pukul 05-45 kembali lagi ke rumah sekitar pukul 15.00. Untuk hari-hari tertentu aku bisa pukul 17.00 baru sampi di rumah. Semenjak tinggal di rumah baru aku melakukan tugas yang dulu ada orang lain yang dibayar untuk melakukan itu semua. Di rumah baru ini aku belajar apa itu mengurus rumah, aku belajar hidup sederhana. Semoga aku bisa mengambil berkah dari kejadian ini.
Di sekolah, aku termasuk siswa aktif. Ambisiku besar untuk menjadi yang terbaik dalam bidang yang aku tekuni. Aku juga ikut dalam pengurusan Dewan Ambalan gugus depan SMA N 1 Lasem. Aku bertindak sebagai ketua dewan. Tidak ada sedikitpun niat untuk menduduki jabatan ini sebelumnya. Aku digiring oleh kakak-kakak tingkatku untuk memperoleh jabatan ini. tapi setelah merasakan apa yang aku dapatkan dari sini aku sangat berterimakasih pada mereka. Aku terpilih untuk mewakili lomba cerdas cermat yang diadakan oleh saka bakti husada di tingkat kabupaten. Aku berusaha untuk bakerja sama secara baik dengan timku. Tiap tim terdiri dari tiga anggota. Dengan semangat juara akhirnya kita bisa mendapatkan lable sang juara sesungguhnya, mengalahkan juara bertahan.
Entah bagaimana ceritanya kemenangan dari timku yang mewakili kecamatan Lasem ini dianggap sebagai suatu kejanggalan. Terdengar ada yang memungkinkan kami mendapatkan bocoran soal. Padahal tak sedikitpun kami diberi pengarahan oleh ketua ranting mengenai teknis dari perlombaan ini, apalagi untuk mendapatkan soal yang akan keluar. Kami baru bertemu dengan ketua ranting saat berangkat menuju tempat perlombaan. Sungguh bahagianya aku bersama tim bisa mempersembahkan yang terbaik untuk sekolah dan kecamatan yang telah memilih kami. Kebetulan juga aku adalah ketua dari saka bakti husada yang telah menyelenggarakan perlombaan ini. sangat bahagia aku ketika itu bisa memberikan sumbangan yang terbaik untuk lembaga-lembaga yang menaungiku. Namun, keluargaku sepertinya tak begitu. Aku menjadi juara atau tidak tak menjadi hal yang membanggakan untuk mereka. Paling tidak hal seperti ini bisa membuat diriku bahagia dengan caraku sendiri.
Dari peristiwa di atas memberiku peluang untuk membuat jaringan di kabupaten. Aku kemudian terpilih sebagai anggota tim kabupaten yang nantinya akan bergabung juga dengan tim yang telah ditunjuk oleh propinsi dalam acara Raimuna tingkat nasional di Cibubur pada bulan juli 2008 lalu. Acara tersebut diikuti oleh semua propinsi yang ada di seluruh Indonesia. Peserta dioplos disetiap setion sehingga kita bertemu teman baru disetiap sationnya. Hal seperti itu membuat kita memahami beberapa karakter orang. Acara tak hanya diikuti oleh pramuka Indonesia saja. Melainkan juga didatangi oleh pramuka Malaysia. Seragam pramuka Malaysia tidak menggunakan seragam seperti yang kita gunakan sebagai pramuka Indonesia yakni coklat, melainkan berwarna biru.
Dari acara tersebut aku bisa berkenalan dan berteman dengan anak lintas pulau. Acara di sana sungguh sangat menyenangkan. Tiap anggota mempunyai scejul masing-masing. Selain menetap di bumi perkemaha cibubur, kami juga dibawa ke sub camp yang terdapat di berbagai daerah, diantaranya bogor, ancol. Hiburan juga di persiapkan untuk kami para peserta, diantaranya adalah dufan, musium gajah, musium bank mandiri dan musium lubang buaya. Kebahagiaan pastinya tidak hanya menjadi miliku tapi milik semua yang mengikuti acara tersebut. Hal itu terlihat di rona wajah teman-temanku pada salah satu setion. Berikut gambarnya akan aku sertakan di sini.
Raimuna berlangsung selama 10 hari. Acara dibuka oleh bapak presiden Susilo Bambang Yudoyono ditemani istri. Dengan mengusung konsep back to nature, sehingga tak ada listrik di setiap tenda. Listrik hanya ada di tempat yang dijadikan sebagai sketariat. Bumi perkemahan Cibubur tersebut selama 10 hari di disulap menjadi seperti miniatur negara.
Setiap malam diadakan acara pentas seni yang menyuguhkan kesenian yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Menampilkan artis ibu kota sebagai gong pentas disetiap malamnya. Setiap daerah juga membuka stand yang menyuguhkan kebudayaan yang menjadi karakter daerah tersebut. Untuk daerah jawa tengah sendiri menampilkan proses pembuatan telur asin dan batik tulis.
Penutupan acara dihadri oleh bapak Wakil Presiden pada masa itu, Yusuf Kala. Perpisahan memang acara yang memberikan kesedihan disetiap pertemuan dengan siapapun, dimanapun, dalam acara apapun. Namun, aku sadar bahwa ada orang yang telah menungguku di rumah. Selama dalam acara raimuna ini ibu sudah sering menelponku yang artinya beliau sudah rindu pada anaknya. Aku juga tidak lupa memberikan buah tangan untuk ibu, adik, juga teman-teman pengurus Dewan Ambalan yang lain. Serta plakat untuk SMA N 1 Lasem tercinta.
Selain aktif di pramuka aku juga ikut tim teater sekolah. Sedikit percaya diri mungkin akulah aktris terbaik disaat itu. Angkatanku adalah perintis adanya teater di SMA N 1 Lasem. Awalnya karena diundang untuk mengikuti lomba teater tingkat kabupaten dalam rangka hari pahlawan nasional. Saat seleksi untuk lomba tersebut aku tidak menyangka akan mendapatkan peran utama wanita di dalam cerita itu. dari latihan demi latihan yang aku jalani bersama tokoh lain, aku menjadi sangat dekat dengan guru-guruku di SMA N 1 Lasem. Di penampilanku saat itu, ketika aku sudah lengkap dengan make up yang sesuai dengan peranku, ada guru yang menegurku tentang kumis tipis yang aku miliki. Guruku bergurau mncurigaiku bahwa sesungguhnya aku adalah laki-laki. Aku menceritakan kepada beliau bahwa dulu, saat aku di dalam kandungan hasil USG mengatakan aku adalah laki-laki. Saat mengandungku ibu sudah memiliki dua anak laki-laki dan menginginkan anak perempuan. Ibuku melihat tim nasidariah yang sedang tampil di pengajian yang dihadiri ibu. Dalam hati ibu bergumam “coba kalau seandainya anaku nanti perempuan dan cantik seperti itu”. doa ibuku tersebut merupakan salah satu doa yang dikabulkan Allah dihari itu. dengan gurauan aku berkata kepada guruku tersebut “maka dari itu Pak, saya kemudian lahir perempuan dan cantik seperti ini. Namun, untuk akar dari kumis ini belum sempurna di hilangkan Pak ”. Ternyata gurauanku ini didengarkan oleh orang lain yang ada disana, dan kita semua tertawa bersama. Ini salah satu gambaran keakrabanku dengan guru-guru di SMA N 1 Lasem.
Setelah peranku di cerita itu aku mendapatkan tawaran untuk bermain lagi dalam cerita yang berbeda. Mulai dari acara hari pendidikan nasional yang diselenggarakan oleh kecamatan lasem, des natalis SMA N 1 Lasem, sampai pada saat karnafal dalam rangka peringatan HUT kemerdekaan Indonesia di kecamatan Lasem.
Peran yang paling aku senangi adalah saat karnafal peringatan HUT kemerdekaan Indonesia. Saat itu aku mendapatkan peran sebagai orang gila dan lawan mainku adalah sosok pejabat yang jauh dari impian rakyat Aku anggap peranku sukses, karena bisa membuat salah paham bapak-bapak yang berseragam polisi sehingga ingin menyeretku keluar dari barisan. Mengambil perhatian bapak camat yang saat itu juga ikut dalam meja juri. Juga menghibur para penonton dengan gerakan teaterikal yang aku lakukan bersama patner kerjaku. Yang paling membuatku senang adalah membuat bangga civitas akademika SMA N 1 Lasem dengan hasil yang diperoleh.
Aku juga ikut dalam tim Tata Upacara Bendera di SMA N 1 Lasem sebagai protokol juga terkadang pembaca UUD 1945. Posisi ini sangat menyenangkan buatku. Ada kejadian lucu pada perlombaann TUB pertamaku. Saat itu pengatur upacaraku lupa memberikan mic pada posisi protokol. Perlombaan diselenggarakan di GOR. Tanpa mic aku kejar tingkat suara tertinggi dalam resonansi suaraku. Namun, masih tetap pada membran pembaca tata upacara. Syukurlah di dalam teater aku sudah dilatih untuk pengolahan fokal pada resonansi tertinggi yang aku miliki. Tanpa mic pun sudah tak menjadi masalah pada kesempatan ini.
Naik kelas tiga aku masuk pada asuhan Pondok Pesantren Al-wahdah yang dipimpin oleh K.H. Khamid Baidlowi. Aku berada pad asuhan pondok pesantren ini sampai pada aku lulus Ujian Nasional tahun 2009. Pada masa-masa ujian, mbah uti sakit dan seperti biasanya yang terjadi di keluargaku. Aku tidak diberitahu akan hal ini.
Aku mengetahui bahwa mbah uti sakit saat aku mendapatkan jatah pulang dari pondok pesantren. Saat itu mbah uti sedang di rawat di salah satu rumah sakit di pati. Entah penyakit apa yang diderita mbah uti. Dengan kondisi adik tidak ada teman di rumah, karena ibu menemani mbah uti yang sedang dirawat di rumah sakit. Menjelang ujian dan mbah uti dudah pulang dan menjalani obat jalan. Aku kembali ke pondok pesantren.
Ujian berlangsung dengan penuh keoptimisan dalam diriku. Hari terakhir ujian, setelah aku sampai di kamar pondok pesantren aku menyempatkan untuk tidur siang. Begitu aku merasa kecapekan karena setiap malam begadang untuk persiapan ujian paginya. Dalam tidurku siang itu aku bermimpi ada yang menyuruhku untuk melakukan solat ghoib. Alam sadarku berpikir apa arti dari mimpiku ini. “Apa terjadi sesuatu dengan mbah uti?” lirih aku mendengar suara abdi dalem yang memanggil namaku, berusaha memberitahuku bahwa kakaku datang menjenguku. Kecurigaanku bertambah kuat “apakah yang aku pikirkan benar terjadi?” “apakah mbah uti benar-benar sudah di panggil oleh yang maha kuasa?” Aku keluar menemui kakaku. Ternyata benar mbah uti sudah tidak ada. Tak berfikir lama aku kemudian langsung membawa barang bawaan seperlunya.
Di rumah mbah uti sudah banyak tamu. Aku masuk lewat pintu belakang. Belum memasuki rumah aku melihat budheku sedang membersihkan tempat yang tadi digunakan untuk memandikan janazah mbah uti. Aku taruh barang bawaanku dan aku menyucikan tubuhku dengan air wudhu dan kemudian aku solat ghoib untuk mbah uti. Aku dekati jenazah beliau, ingin sekali aku membukanya. Aku bahagia karenah mbah uti meninggal dengan cara yang khusnul khotimah. Semoga ibuku juga demikian bila saatnya tiba. Tangis haru juga menyelimuti rumah duka. Ibu dan juga saudara-saudaranya merasa sangat kehilangan karena mbah uti adalah satu-satunya orang tua yang masih ada. Mbah kakung telah meninggal lama sejak aku masih kecil. Dalam hati aku berfikir, mengingatkan diriku sendiri kalu sekarang aku hanya mempunyai satu nenek dari bapak yang aku panggil mbah tun.
Mbah tun (ibu bapak) meninggal saat aku sudah memasuki lembaga perguruan tinggi Universitas Negeri Semarang. Kapan mbah tun meninggal tidak ada satupun yang memberitahuku. Entah kenapa alasanya. Aku merasa sangat kecewa sekali, bagaimanapun juga seharusnya aku diberitahu. Paling tidak aku bisa solat untuk beliau. Aku mendengar berita meninggalnya mbah uti jauh setelah mbah uti meninggal. Kecewa sekali aku dengan keadaan ini.
Belum lama ini juga, aku mendengar kabar kalau bapaku dirawat di rumah sakit. Namun, aku tak bisa bertindak apapun hanya dapat berdoa atas kesembuhanya. Ingin sekali melakukan suatu hal yang berguna untuk beliau. Namun, ketakutan selalu menemaniku. Masih ingat dulu, bersalaman denganku saja nggak mau. Hubungan antara ibu dan kakak pertamaku juga lebih baik dibanding dengan saat-saat perceraian kedua orang tua kami dulu. aku senang melihat hal itu. semoga esok hubunganku dengan bapak dapat membaik seperti sebelum perceraianya dengan ibu terjadi.
Semua orang tua pasti sangat ingin melihat anaknya sukses di segala bidang. Aku akan bertekad untuk itu. Akan aku persembahkan khusus buat keluargaku, terutama ibuku. Menjadi seorang pendidik adalah tangga awal yang saat ini aku rintis dengan biaya dari seorang ibu. Ingin sekali mewujudkan keinginan ibuku. Saat ini aku ingin dengan uangku dapat membeli rumah dan mempersembahkanya untuk beliau. Untuk bangsa dan negaraku, aku akan persembahkan pengabdian diriku dalam dunia pendidikan. Ikut mensukseskan tujuan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar